Direktur Eksekutif DeparÂtemen Komunikasi BI AgusÂman mengatakan, kebijakan tersebut konsisten dengan upaya menjaga stabilitas makÂroekonomi dan sistem keuanÂgan, serta turut mendukung peÂmulihan ekonomi domestik.
BI, lanjut Agusman, memanÂdang bahwa pelonggaran kebiÂjakan moneter yang ditempuh sebelumnya tetap memadai untuk terus mendorong momenÂtum pemulihan ekonomi domesÂtik. Ke depan, Bank Indonesia tetap fokus menjaga stabilitas perekonomian yang menjadi landasan utama bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
"Tentunya sejumlah risiko tetap perlu diwaspadai, baik yang bersumber dari eksternal seperti peningkatan ketidakÂpastian pasar keuangan global dan kecenderungan penerapan
inward-oriented trade policy di sejumlah negara, maupun dari dalam negeri terkait kenaikan inflasi," katanya dalam konferÂensi pers Rapat Dewan GuberÂnur (RDG) BI pada 21-22 Maret 2018 di Jakarta, kemarin.
Selain itu, lanjut Agusman, BI akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudenÂsial, dan sistem pembayaran untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, khususnya dengan memitigasi peningkatan risiko jangka pendek.
"BI juga semakin memÂperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, untuk menÂjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta penÂguatan pelaksanaan reformasi struktural," tuturnya.
Agusman lalu menyoroti perÂtumbuhan ekonomi global 2018 yang diperkirakan meningkat, meski terdapat beberapa risiko yang perlu dicermati. Peningkatan pertumbuhan ekonomi global berÂsumber dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkemÂbang yang terus berlanjut.
Di negara maju, pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 diperÂkirakan lebih tinggi karena diÂtopang investasi dan konsumsi yang menguat seiring dampak stimulus fiskal. Kenaikan suku bunga FFR sebesar 25 bps pada 21 Maret 2018 sesuai dengan perkiraan Bank Indonesia.
"Ke depan, Bank Sentral juga memperkirakan proses normalisasi kebijakan moneter AS akan berlanjut dengan suku bunga FFR yang akan kemÂbali meningkat. Sementara itu, ekonomi Eropa diprakirakan tumbuh lebih baik, didukung perbaikan ekspor dan konÂsumsi serta kebijakan moneter yang akomodatif," katanya.
Tak hanya itu, sejumlah risiko perekonomian global yang tetap perlu diwaspadai. Pertumbuhan ekonomi AS yang lebih tinggi dapat mendorong kemungkiÂnan kenaikan FFR yang lebih cepat dari perkiraan semula. Sementara itu, kecenderungan penerapan
inward-oriented trade policy di sejumlah negara berpoÂtensi menimbulkan retaliasi dari negara lain yang dapat menuÂrunkan volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Ekonom dari
Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima YudhisÂtira mengatakan, kebijakan meÂnahan suku bunga acuan sebagai respons BI terhadap kenaikan
The Fed telah diprediksi pasar.
Di sisi lain, kondisi ekonomi dalam negeri juga turut mendorÂong BI mempertahankan suku bunga acuannya. "Meski inflasi di Februari mulai mereda, namun harga beberapa bahan pangan masih akan tinggi hingga Lebaran pada Juni mendatang," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka.
Selain itu, kata Bhima, peleÂmahan nilai tukar rupiah terhÂadap dolar yang diakibatkan keluarnya modal asing dan defisit neraca perdagangan juga menjadi pertimbangan BI untuk menahan repo rate.
Tak jauh berbeda, Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, sinyÂal kuat BImenahan repo rate meÂmang masih ada. Meskipun, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan melalui
Federal Open Market Committee (FOMC).
"Pasar sudah lebih siap unÂtuk kenaikan suku bunga
The Fed sesuai ekspektasi pasar. Apalagi fundamental perekoÂnomian Indonesia masih daÂlam kondisi prima. Tercermin dari data ekonomi makro yang sesuai dengan target pemerinÂtah," tukasnya. ***
BERITA TERKAIT: