DPR Khawatir Perlindungan Terhadap Petani Melemah

Kewenangan Susi Merekomendasikan Impor Garam Dicabut

Senin, 19 Maret 2018, 10:00 WIB
DPR Khawatir Perlindungan Terhadap Petani Melemah
Foto/Net
rmol news logo Senayan mengkritik keras pencabutan kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti merekomendasi kuota impor garam industri. Kebijakan tersebut dinilai menabrak Undang-Undang dan melemahkan perlindungan terhadap petani.

 Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Ko­moditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan bahan Penolong Industri, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Ne­layan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.

"Dalam Undang-Undang no­mor 7 tahun 2016 disebutkan rekomendasi impor kewenangan kementerian teknis. Tujuannya agar KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) bisa mengontrol impor garam sehingga garam petani bisa tetap terserap," kata Edhy kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.

Menurut Edhy, dengan di­cabutnya kewenangan Menteri Susi maka otomatis perlindungan terhadap petani kini me­lemah. Karena, penetapan kuota bisa lebih tinggi dari hitungan KKP. Padahal, KKP paling tahu tentang berapa hasil produksi lokal. Hal ini akan berdampak buruk terhadap upaya pemerintah meningkatkan produksi garam nasional.

"Tidak bisa dengan dalih me­nyelamatkan industri, kewenangan KKP dipangkas," cetusnya.

Seharusnya, menurut Edhy, untuk penetapan kuota impor garam, tidak perlu pemerintah sampai mencabut kewenangan Susi. Pemerintah cukup mendorong peningkatan koordinasi antara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dengan KKP.

Dampak lainnya, dipapar­kan Edhy, kebijakan Presiden Jokowi menerbitkan PP dengan tidak mengindahkan ketentuan UUakan menimbulkan preseden buruk. "Kalau masalah ini tidak dikritik, besok bisa saja ada PP yang lainnya tidak sesuai dengan amanah Undang-Undang," cetus Edhy.

Seperti diketahui, penetapan impor garam industri selama ini memang berjalan alot. Sebab re­komendasi KKP selalu di bawah permintaan Kemenperin. KKP sendiri berdalih rekomendasi ditetapkan berdasarkan hitungan hasil produksi dan kebutuhan industri. Sementara Kemenperin juga merasa hitungannya akurat berdasarkan kebutuhan industri. Pada tahun ini polemik penepatan kuota impor membuat impor garam menjadi molor.

Salah satu alasan pemerin­tah menerbitkan PP Nomor 9/2018 untuk mengakhiri kisruh penetapan impor garam tersebut. Dalam regulasi baru, kini ke­wenangan merekomendasikan impor garam di tangah Menteri Perindustrian (Menperin).

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasu­tion menolak penerbitan PP nomor 9/2018 menabrak UU. Menurut Darmin, terkait impor garam, ada dua peraturan terkait. Selain UU Nomor 7/2016, ada juga UU Nomor 3/2014 tentang Perindustrian.

"Dalam Undang-Undang Perindustrian memberikan we­wenang (Menperin) mengurusi input industri, termasuk tentu saja antara lain garam industri. Presiden bilang di dalam PP itu khusus untuk mengatur garam industri," kata Darmin.

Selain itu, Darmin menutur­kan, kewenangan memberikan rekomendasi pada UU Nomor 7/2016 hanya menyebutkan soal pergaraman. PP baru mem­pertegas khusus impor garam industri, penetapan rekomendasi kewenangan Menperin.

"Jadi tidak ada yang dilanggar. Rujukannya tetap mengacu kepada dua Undang-Undang," katanya.

Kuota Impor Dinaikkan Lagi


Menteri Darmin mengungkapkan, dengan adanya PP, kini kuota impor garam dikembalikan seperti rencana semula. "Tadinya kan 2,3 juta juta ton, sudah diputuskan menjadi 3,7 juta ton lagi," ungkap Darmin.

Menurut Darmin, untuk tam­bahan kuota baru, impor akan dilakukan secara bertahap sam­pai akhir tahun.

Kuota impor garam sebanyak 2,7 juta merupakan rekomendasi dari Kemenperin. Sedangkan 2,3 merupakan rekomen­dasi KKP.

Darmin berharap, dengan adanya PP nomor 9/2018, impor bisa segera dilaksanakan sehingga bisa memenuhi kebutu­han industri. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA