Direktur
Institute for DevelopÂment of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menÂgatakan, program pemerintah untuk melatih tenaga kerja masih minim. "Program pemerintah belum sampai ke ujung tombak sasaran agar optimal, akses tenaga kerja kita dapat pelatihan minim sekali," ujarnya di Cikini, Jakarta, kemarin.
Ia mengungkapkan, pekerja pun tidak bisa mendapat jaminan untuk mendapat pekerjaan mesÂki sudah mengikuti pelatihan. "Nyatanya masih banyak tenaga kerja yang belum terserap. Ikut pelatihan tapi tak ada jaminan dapat pekerjaan," katanya.
Sekjen Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Abdul Waidl menyebutkan, revolusi industri 4.0 berpotensi meningkatkan ketimpangan terutama antara pekerja yang memiliki keahlian dan tidak. "Padahal 52 persen angkatan kerja yang ada saat ini berpendidikan SMP ke bawah," ujarnya.
Menurut dia, peningkatan kesempatan kerja, disertai upah laik, kondisi kerja yang baik, serta tidak ada diskriminatif bagi pekerja perempuan haruslah juga menjadi prioritas pemerinÂtah. "Secara umum pemerintah belum menunjukkan fokus daÂlam upayanya untuk mencapai ekonomi berkeadilan tersebut," tegasnya.
Ia mengungkapkan, dalam beberapa dekade ke depan, negeri ini berisiko kehilangan 40,8 persen dari tenaga kerjanya akibat adanya digitalisasi dan automasi di berbagai industri. Dari jenis pekerjaannya, buruh pabrik dan logistik menjadi profesi yang paling terancam diÂhilangkan dengan risiko sebesar 78 persen.
Dia menilai, selama ini poliÂtik anggaran untuk pendidikan vokasional terlampau kecil dan belum menjadi prioritas. Dia menyebut, anggaran pendidikan vokasi dari tiga kementerian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 hanya mencapai Rp 2,59 triliun atau 0,61 persen dari alokasi anggaran pendidikan sebesar Rp 416,09 triliun.
Pihaknya pun merekomenÂdasikan pemerintah untuk memÂperbanyak sekolah kejuruan yang kurikulumnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan revolusi industri 4.0. "Selama ini terjadi mismatch antara pelatiÂhan yang kerap diberikan di Balai Latihan Kerja (BLK) dengan kebutuhan di industri," tukasnya.
Asisten Deputi KetenagakÂerjaan Menko Perekonomian Yulius mengaku, kehadiran Revolusi Industri 4.0 tidak bisa dihindari lagi. "Revolusi IndusÂtri 4.0, sama seperti Globalisasi, mau tidak mau ada dan harus dihadapi," ujarnya.
Dia menuturkan, pemerintah tengah berupaya menyiapkan tenaga Sumber Daya Manusia (SDM) masa depan untuk mengÂhadapi revolusi industri keempat itu. "Adanya Revolusi IndusÂtri 4.0 juga akan memunculÂkan pekerjaan baru. Kita harus menyiapkan anak-anak muda bangsa agar bisa menyesuaikan diri," katanya.
Yulius memaparkan, Presiden Jokowi beberapa waktu lalu sempat mengundang beberapa pelaku industri lokal. "PresiÂden menanyakan apa saja yang harus dipersiapkan anak muda. Mereka menjawab, anak muda kita harus diajari Bahasa Inggris sejak awal," tutur dia.
Selain bekal kemampuan BaÂhasa Inggris, hal lainnya yang harus dipersiapkan adalah keÂberadaan ahli bahasa pemrograÂman atau coding. "Di Indonesia ini masih sedikit sekali yang menguasai coding. Kita masih harus impor tenaga ahli (coding) dari luar," ujar Yulius. ***
BERITA TERKAIT: