Ini disampaikan seusai rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang pertama di 2018 di Jakarta, kemarin.
Hadir dalam konferensi terseÂbut anggota KSSK yaitu Menteri Keuangan Sri Mulyani, GuberÂnur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simapanan (LPS) Halim Alamsyah.
Sebagai tuan rumah, Menkeu Sri Mulyani mengatakan, KSSK optimistis kondisi stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terkendali, terutama dalam mendukung momentum pertumbuhan perekonomian nasional yang juga ditopang resiliensi perÂekonomian kian membaik.
"Kondisi tersebut ditandai dengan tingkat inflasi yang rendah sesuai target, neraca transaksi berjalan pada tingkat yang sehat, aliran masuk modal asing yang staÂbil, nilai tukar rupiah yang terjaga, cadangan devisa yang menguat, kebijakan fiskal dengan tingkat defisit anggaran dan defisit primary balance yang lebih rendah dari tarÂget APBN-P 2017," tuturnya.
Wanita yang akrab disapa Ani ini membeberkan, kinerja perÂbankan dan pasar modal yang baik, tren performa Surat BerÂharga Negara (SBN) yang positif, kecukupan dana penjaminan simpanan, serta persepsi investor yang positif terhadap prospek perÂekonomian Indonesia ke depan.
"KSSK akan mengoptimalkan bauran kebijakan dari sisi fiskal, moneter, makro dan mikroÂprudensial, serta pasar keuangan dalam menjaga momentum perekonomian dari tantangan yang dapat mengganggu kesiÂnambungan dan stabilitas sistem keuangan," imbuhnya.
Ke depan, KSSK tetap mencerÂmati sejumlah tantangan yang dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, baik dari sisi eksternal maupun domestik.
Sementara dari sisi eksternal, KSSK mencermati rencana lanÂjutan kenaikan
Fed Funds Rate (FFR) dan normalisasi neraca bank sentral AS, normalisasi moneter negara maju, moderaÂsi pertumbuhan (
rebalancing) ekonomi China dan dinamika konflik geopolitik semenanjung Korea dan wilayah lainnya.
Sedangkan dari sisi domestik, Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menambahÂkan, KSSK mencermati tantangan seperti dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap inflasi atau subsidi, aliran dana non-residen pada pasar keuangan, tingkat permintaan kredit yang belum sepenuhnya pulih.
"Serta persepsi pasar terhadap kondisi politik menjelang Pilkada serentak tahun 2018 dan Pilpres 2019, serta perkembangan mata uang virtual (
cryptocurrency) termasuk bitcoin," tuturnya.
Agus menuturkan, dengan meÂmandang prospek dan tantangan bagi stabilitas makroekonomi dan keuangan tersebut, KSSK akan terus mendorong sinergi kebijakan dan reformasi strukÂtural yang diperlukan untuk memelihara dan mengantisipasi stabilitas sistem keuangan.
Komitmen tersebut tercermin dalam Rencana Kerja KSSK 2018 meliputi pengkajian impleÂmentasi peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) dan pelakÂsanaan simulasi penanganan kriÂsis sistem keuangan. KSSK akan kembali menyelenggarakan Rapat Berkala pada April 2018.
Senada, Chief Economist PT CIMB Niaga Tbk Adrian juga meÂlihat, gesekan politik pada pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 tidak akan mempengaruhi dinamiÂka bisnis keuangan di Indonesia.
Menurutnya, pola interaksi politik-bisnis yang telah terbenÂtuk saat ini telah melepaskaitkan antara bisnis dengan patronase politik. Akibatnya, dinamika ekonomi-bisnis berjalan secara independen dengan proses geseÂkan kepentingan kekuasaan di antara pelaku-pelaku politik.
"Artinya, mungkin cukup realistis untuk berekspektasi bahwa pilkada 2018 dan pilpres 2019, sekali lagi, tidak akan berpengaruh terhadap konfigurasi harga-harga aset di pasar obligasi, saham dan uang di tahun-tahun tersebut," kata Adrian kepada
Rakyat Merdeka. Namun dengan rencana keÂnaikan FFR sebanyak 2-3 kali di tahun ini, konfigurasi harga aset Amerika Serikat akan menjadi sedemikian rupa sehingga jarak imbal hasil antara aset Indonesia dengan Negeri Paman Sam itu akan menjadi lebih sempit.
"Hal ini bisa mempersulit Bank Indonesia untuk menginÂjeksi katalis moneter ke dalam perekonomian, termasuk peÂlonggaran suku bunga acuan. Kelihatannya akan tetap di level 4,25 persen," jelas Adrian.
Tak hanya itu, Adrian bilang, pada 2018-2019 ekonomi IndoÂnesia akan lebih dipengaruhi oleh faktor global juga, yaitu mulai naiknya harga-harga komoditas dunia, bergeraknya ekonomi dunia memasuki terra incognita, yang dicirikan oleh divergensi global daÂlam arah pergerakan suku bunga.
"Juga menciutnya neraca bank sentral di Amerika dan Eropa akan menyebabkan konfigurasi harga-harga aset Indonesia menÂjadi berbeda dengan episode di tiga periode pemilihan umum sebelumnya," ucapnya. ***
BERITA TERKAIT: