Hasil tinjauan DPR ke lapangan, belum ada tanda-tanda pabrik itu bakal dibangun. Atas hal ini, DPR meminta Pemerintah tak ragu untuk mencabut izin ekspor tambang Freeport.
"Kami melihat tidak ada progres fisik yang dilakukan. Meskipun disampaikan telah melalui tahapan-tahapan yang sifatnya administratif, tetapi itu bukan sebuah progres yang bisa di lihat," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Syaikhul Islam Ali di sela kunjungan kerjanya di Gresik, Jawa Timur, Jumat (24/11).
Menurut Ali pihaknya menemukan banyak problem dalam pembangunan smelter. Bukan hanya progres pembangunan fisik, tapi juga komitmen Freeport. Sebab, lokasi untuk tempat pembangunan smelter juga belum ada kepastian. Bahkan, perjanjian yang dibuat dengan PT Petrokimia pun tampaknya tertahan.
Politisi PKB ini pun meminta pemerintah memberikan perhatian serius atas mencla-menclenya sikap Freeport ini.
Freeport tidak boleh terus diberi kelonggaran. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor 1/2017 tentang Izin Usaha Pertambangan Khusus sudah tegas menyebutkan bahwa perusahaan tambang wajib memiliki smelter.
"Izin Usaha Pertambangan dikeluarkan dengan satu konsekuensi yang jelas. Kalau tidak membangun smelter dengan progres yang bisa dievaluasi setiap 6 bulan, maka akan dicabut rekomendasi ekspornya," tuturnya.
Ali menambahkan tidak ada jalan bagi pemerintah selain harus komitmen dengan aturan yang dibuat sendiri. Tidak boleh ada kesan bahwa perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini dianakemaskan.
"Kami berharap, Kementerian ESDM dapat konsisten dengan peraturan yang dibuatnya sendiri. Jangan ada kesan menganakemaskan satu perusahaan dibandingkan perusahaan-perusahaan yang lain," jelas Ali.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi VII DPR Tjatur Sapto Edy menegaskan bahwa pembangunan smelter sangat penting bagi Indonesia.
Dengan adanya smelter, nilai tambah dari hasil tambang Freeport dapat dinikmati Indonesia. Unutk itu jugalah pemerintah harus tegas ke Freeport.
"Kami dorong agar seluruh pengolahan konsentrat Freeport dapat dilakukan di Indonesia. Saat ini baru 40 persen yang sudah bisa dipisahkan di Indonesia, 60 persen sisanya masih diolah di luar negeri," kata politisi PAN ini.
Tjatur mengemukakan kekecewaan yang sama dengan Syaikhul. Sebab, Freeport seperti tak pernah serius untuk membangun smelter. Padahal, pabrik pemurnian emas itu seharusnya sudah ada sejak 2014.
Anggota Komisi VII DPR Eni Maulana Saragih yang juga ikut berkunjung tampak sangat kesal dengan Freeport. Dia pun akan segera melaporkan hasil temuan tim Komisi VII itu ke Menteri ESDM Ignasius Jonan untuk ditindaklanjuti.
"Sampai saat ini kita belum melihat ada progres yang memuaskan. Freeport belum sama sekali menentukan lokasinya, apakah di Petrokimia atau di tempat lain. Makanya, nanti akan kami sampaikan kepada Menteri ESDM terkait belum adanya progres pembangunan smelter oleh Freeport," ucapnya.
[nes]
BERITA TERKAIT: