Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendapati sejumlah pedagang beras eceran di pasar tradisional di Jakarta mengeluhkan kebijakan HET. Dikarenakan mereka harus membayar lebih mahal daripada HET untuk beras yang didapat dari pedagang grosir. Akhirnya mereka tidak bisa mendapatkan keuntungan.
Kepala Bagian Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi mengkhawatirkan adanya risiko pencampuran beras berkualitas tinggi dengan beras kualitas rendah demi menghindari kerugian. Selain itu, ada biaya yang harus ditanggung pada pedagang eceran saat bertransaksi dengan pedagang grosir seperti biaya transportasi dan upah tenaga kerja. Biaya tambahan ini juga tidak diperhitungkan pemerintah saat menetapkan HET beras.
"Intervensi pasar yang dilakukan pemerintah melalui HET sudah mendistorsi permintaan dan penawaran di pasar. Kalau hal ini dibiarkan, kami mengkhawatirkan akan terjadi kelangkaan beras," bebernya kepada wartawan, Jumat (24/11).
Hizkia menjelaskan, sejak Mei 2009 hingga Mei 2017, harga beras di Indonesia memiliki trayektori berbeda dibandingkan dengan harga beras di pasar internasional. Pada Mei 2009, keduanya masih sebanding di angka Rp 6.641 per kilogram di Indonesia dan Rp 5.546,77 per kilogram di pasar internasional. Sementara, di bulan yang sama tahun 2017 harga beras di Indonesia di angka Rp 13.125 dan harga beras impor Rp 5.609,28.
Lebih mahalnya harga beras di Tanah Air daripada internasional dikarenakan harga komoditas pangan Indonesia belum terintegrasi dengan pasar internasional. Melalui kerangka kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN, pemerintah bisa mengimpor beras dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang belum seluruhnya mampu dipasok petani. Melalui jalur distribusi yang lebih ramping dan harga di pasar dunia yang hanya setengah dari beras lokal, beras impor akan membuat penduduk berpenghasilan rendah dapat memenuhi kebutuhan beras mereka dengan harga lebih terjangkau.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2017, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen. Mengalami kenaikan sebanyak 6,90 ribu orang dari September 2016 yang berjumlah 27,76 juta orang. BPS juga mencatat, jenis komoditas makanan memiliki pengaruh lebih besar kepada orang miskin ketimbang komoditas bukan makanan. Jenis komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan maupun di perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, kopi bubuk dan kopi instan dan bawang merah. Sementara, untuk komoditas bukan makanan yang besar pengaruhnya adalah biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, angkutan, kesehatan dan perlengkapan mandi.
"Tingginya harga pangan membuat orang miskin sulit mengaksesnya, penghasilan mereka tidak cukup untuk itu. Kalaupun cukup mereka tidak akan membeli semua kebutuhan pangan karena mereka masih memiliki kebutuhan lain untuk dipenuhi. Ketidakmampuan mengakses pangan membuat masalah kesehatan terutama gizi untuk anak menjadi terabaikan," tutur Hizkia.
[wah]
BERITA TERKAIT: