Saat ini belum terlambat untuk mengantisipasi ancaman ledakan pengangguran di Indonesia. Karena, sebagian besar industri masih menggunakan tenaga manusia untuk memproduksi barang.
"Sejauh ini banyak pekerjaan di Indonesia masih menggunaÂkan tenaga manusia. Karena, menggunakan mesin, investasinya mahal. Tapi harus disadari, kini seluruh industri mengarah ke sana (gunakan teknologi)," ungkap Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang PerÂindustrian Johnny Darmawan kepada
Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Johnny mengatakan, isu revolusi industri keempat buÂkan sekadar isapan jempol beÂlaka. Beberapa industri padat karya di Thailand, Malaysia dan Filiphina, mulai memanfaatÂkan tenaga robotik dan sistem digitalisasi untuk menggenÂjot produksi. Kedatangan tren tersebut di negara manapun tidak bisa dicegah. Apalagi, keterÂampilan tenaga kerja Indonesia dianggap rendah.
"80 juta tenaga kerja kita lulusan SD, SMP, dan SMA, keÂmampuannya diragukan. Nggak bisa dicegah (gunakan tenaga mesin-red). Sekarang ini yang diperlukan bagaimana mengaÂtasinya," katanya.
Johnny memaparkan alasan kenapa pebisnis atau investor cenderung bakal menggunakan tenaga mesin. Menurutnya, mesin memiliki kemampuan produksi berkali-kali lipat dibandingkan tenaga manusia. Contohnya pada industri tekstil, pembuatan baju. Tenaga manuÂsia hanya mampu menghasilkan 2 helai per hari. Untuk bisa memenuhi permintaan 100 helai baju, sebuah industri membuÂtuhkan 50 pekerja. Sementara, satu mesin bisa memproduksi 20 helai per hari artinya perusahaan cukup menyediakan 5 mesin saja untuk mencapai 100 helai. Dan, untuk menjalankan mesin itu, perusahaan hanya butuh 5 orang pekerja.
Johnny mengingatkan, indusÂtri mengganti tenaga manusia sebenarnya sudah mulai terjadi di Indonesia. Antara lain, dilakuÂkan pabrik rokok Sampoerna dan Bentoel. Hal itu dilakukan dengan alasan efisiensi. Dia berharap, pemerintah sudah memikirkan antisipasinya dari sekarang.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto mengaku, untuk industri otoÂmotif, sebagian besar masih mengandalkan tenaga manusia. Apalagi, produsen masih mampu memenuhi permintan pasar.
"Dari kapasitas produksi naÂsional yang mencapai 2,2 juta unit per tahun, produsen rata-rata mampu memproduksi kendaraan sebanyak 1,1 juta unit hingga 1,2 juta unit. Jadi, belum ada peÂrubahan besar ke tenaga mesin," jelasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mewanti-wanti semua kalangan agar bersiap diri menghadapi revolusi industri ke empat. Mengutip proyeksi International Labour Organization (ILO), Jokowi menyampaikan, revolusi industri akan menghilangkan 56 persen kesempatan kerja di Asia.
Kawal Lewat Regulasi Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi) Nining Elitos menilai, dampak negatif revolusi industri bisa diantisipasi melalui regulasi yang berpihak kepada pekerja.
"Soal skill (keterampilan) kan bisa ditingkatkan melalui balai latihan kerja (BLK). Yang paling penting aturannya dahulu diperÂkuat. Pemerintah harus menceÂgah perusahaan bisa seenaknya memberhentikan pekerjanya," kata Nining.
Nining mengingatkan, peÂmerintah memiliki kewajiban menyediakan lapangan kerja. Jangan sampai isu revolusi inÂdustri dijadikan kambing hitam atas terjdinya pengangguran.
Ekonom
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima YudhisÂtira Adhinegara menuntut peran Kementerian Tenaga Kerja (KeÂmenaker) untuk lebih cekatan dalam menghadapi berbagai tantangan masalah ketenagakerjaan.
"Kami belum melihat ada program yang komprehensif dan berdimensi jangka panjang sebaÂgai respon atas dampak maupun untuk menghadapi revolusi industri," katanya. ***
BERITA TERKAIT: