Karena itu, protes dan tuntutan kesejahteraan yang digelar Serikat Pekerja PT JICT baru-baru ini patut dipertanyakan motif dan tujuannya.
Mengingat, karyawan PT. JICT tingkat bahwah hingga junior staf menerima gaji mencapai Rp 40,9 juta per bulan. Sebuah angka fantastis yang harusnya disertai dengan kinerja pekerja yang tinggi.
Direktur Eksekutif Institute Strategic for Economic Development (Insed) Tomi Rahaditya menjelaskan, untuk ukuran Indonesia, para pekerja JICT sangatlah nyaman dengan pendapatan rutin bulanan.
"Jika masih banyak menuntut kesejahteraan atau melakukan protes sangat tidak masuk akal," ujarnya kepada redaksi, Kamis (19/1).
Tomi mencium kepentingan terselubung pihak-pihak yang mencari keuntungan dengan mendorong para pekerja melakukan protes dan tuntutan. Atau lebih tepat berbau politis demi kepentingan kelompok tertentu di lingkungan PT. JICT.
"Biasanya ada motif jabatan yang hendak dituju," ujarnya.
Menurut Tomi, gaji seorang karyawan ditentukan atas kinerja yang sudah dilakukan dan potensi
resikonya. Dengan alasan hanya dengan cara itu prinsip sistem penggajian mengedepankan keadilan dari sisi internal maupun eksternal perusahaan bisa terpenuhi.
"Kemampuan keuangan perusahaan juga menjadi kunci utama dalam mempertimbangkan menetapkan gaji tinggi para karyawannya," lanjutnya.
Sebagai perbandingan, gaji karyawan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II masih kalah dari JICT. Saat masih menjabat Direktur Utama Pelindo II, R.J. Lino pernah membeberkan besaran pengupahan bulanan di perusahaannya yaitu bagian staf diberi gaji Rp 6,9 juta, supervisor Rp 11,45 juta, dan tingkat manajer Rp 14,5 juta.
"Saat Dirut Pelindo II Elvyn G. Massasya, pada 2016 kenaikan terjadi sekitar 25 persen. Namun masih jauh dari apa yang didapat pekerja JICT," tegas Tomi.
[wah]
BERITA TERKAIT: