Dalam pantauan di pasar tradisional kemarin, harga cabai rawit merah masih anteng di kisaran Rp100 ribu per kilogram. Di Pasar Induk Kramat Jati misalnya, harga cabai rawit merah kecil mencapai Rp 110 ribu per kilogram, ada pun cabai rawit merah besar dibandrol Rp 110 ribu per kilogram. Menurut pedagang, panen yang belum merata menyebabkan stok cabai terbatas.
Saat ini, hanya ada sejumlah daerah yang menyuplai cabai antara lain Manado dan di Jawa. Ada pun untuk wilayah Sumatera masih belum panen. "Biaya angkut menggunakan pesawat yang bikin harga naik," kata Mamat, di lokasi, kemarin.
Tingginya harga cabai ini hampir merata di daerah. Malah, di sejumlah daerah seperti Papua dan Kalimanta harga cabai sempat tembus hingga Rp200 ribu per kilogram. Sayang, tingginya harga cabai di pasaran ini tidak dinikmati oleh para petani cabai. Petani cabai di Kelurahan Cicurug, Majalengka, Jawa Barat misalnya masih menjual cabai ke tengkulak dengan harga Rp27 ribu-30 ribu per kilogram. Padahal di pasar tradisional Majalengka harganya mencapai Rp 80 ribu per kilogram. Petani mensiasatinya keadaan ini dengan menjual cabai secara eceran ke pasar-pasar.
Tingginya harga cabai dalam sepekan terakhir ini bikin sejumlah pengusaha makanan mengalami kerugian. Di Blitar, Jawa Timur misalnya, para produsen sambel pecel merasakan dampak kenaikan tersebut. Soalnya, cabai adalah bahan utama pembuat sambal selain kacang.
Bagaimana sikap pemerintah? Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim harga cabai sudah turun. Ia pun minta kenaikan harga ini tidak terlalu dibesar-besarkan. Soalnya, dari 14 komoditas yang diurusinya, hanya satu komoditas yang naik. Harga 13 komoditas lainnya masih stabil. "Harga beras malah turun 0,9 persen. Tanpa beras, mati orang, sakit. Jadi tolong, cabai itu masih terkendali. Urusan kita bukan cuman satu saja," kata Amran, saat memantau harga cabai di pasar tradisonal Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu kemarin.
Pengamat pertanian Khudori mengatakan setidaknya ada tiga masalah krusial yang menggerogoti sektor pangan selama ini. Pertama, data pangan yang tidak akurat dan berbeda dengan kondisi di lapangan. Kedua, terlalu mudahnya pemerintah mengeluarkan izin impor sehingga ketergantungan terhadap impor semakin besar. Ketiga, ketidakmampuan pemerintah mengintervensi harga lantaran tak memiliki pasokan ketika terjadi fluktuasi harga. "Ini masalah klasik. Kalau tiga masalah itu belum teratasi kejadian lonjakan harga diprediksi akan terulang lagi. Tak hanya daging sapi dan cabai. Komoditas lain juga punya potensi yang sama," kata Khudori, kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Daging sapi misalnya, sejak Puasa lalu Presiden sudah menginstruksikan agar harganya bisa di kisaran Rp8 5 ribu per kilogram. Namun, sampai sekarang harganya masih anteng di Rp 120 ribu perkg. Padahal pemerintah sudah menunjuk Bulog untuk jadi bandar daging, dengan memberi izin impor daging dari India sebanyak 70 ribu ton untuk periode Oktober 2016-Juni 2017.
Pengamat ekonomi dari Indef Enny Sri Hartati menyebut lonjakan harga cabai sebagai sesuatu yang konyol. Soalnya terjadi di negeri agraris seperti Indonesia. Menurut dia, lonjakan ini lantaran pemerintah tak jeli mengatur manajemen penanaman cabai. Sehingga petani masih tergantung pada pengepul-pengepul yang sebenarnya tidak berpihak pada petani. "Jika kondisi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin, pemerintah akan KO, kejadian akan terulang" kata Enny. ***
BERITA TERKAIT: