Program Jaminan Sosial Bakal Tidak Bisa Dieksekusi

Pekerja Nonformal Minim Ikut BPJS Ketenagakerjaan

Jumat, 06 Januari 2017, 09:35 WIB
Program Jaminan Sosial Bakal Tidak Bisa Dieksekusi
Foto/Net
rmol news logo Jika tidak melibatkan pemerintah daerah dalam mengek­sekusi Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 1 tahun 2016, upaya meningkatkan kepesertaan dan jaminan sosial bagi peserta cuma ibarat tong ko­song nyaring bunyinya.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, pada dasarnya diterbitkannya Permenaker Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua ( JHT) bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), cukup bagus bagi para peserta. Namun, jika tidak dieksekusi secara riil di lapangan,tidak akan berguna bagi masyarakat.

"Mengingat masih rendahnya kepesertaan JKK, JKM, dan JHT bagi PBPU di BPJS Naker maka seharusnya permenaker ini meli­batkan pemerintah daerah secara aktif untuk membantu PBPU mengikuti JKK, JKM, dan JHT ini," ujarnya.

Timboel mengingatkan, ke­hadiran Permenaker Nomor 1 Tahun 2016 merupakan Amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2015. Kehadiran Permenaker ini, lanjut Timboel, adalah hal baik dalam rangka untuk mendukung perce­patan peningkatan kepesertaan jaminan sosial (JKK, JKM, dan JHT) bagi peserta bukan penerima upah (PBPU).

"Faktanya saat ini kepesertaan PBPU di BPJS NAKER untuk program JKK, JKM, dan JHTmasih sangat rendah," ujarnya.

Timboel menyebut, berdasar­kan data per Juli 2016 kepeser­taan JKK, JKM, untuk PBPU masih sekitar 400-ribuan, de­mikian juga dengan Kepesertaan JHTuntuk PBPU masih sekitar 300-ribuan.

"Ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan jumlah pekerja di sektor informal yang jumlahnya mencapai 70 juta jiwa," ujarnya.

Karena itu, lanjut Timboel, kehadiran Permenaker Nomor 1 Tahun 2016 ini diharapkan dapat meningkatkan kepesertaan JKK, JKM dan JHT untuk PBPU di BPJS Naker. Secara umum, ujarnya lagi, isi Permenaker ini merupakan turunan dari isi PP Nomor 44 Tahun 2015. Namun demikian, lanjut Timboel, ada beberapa hal yang patut dikritisi.

"Kalau kita baca pasal 2 Permenaker ini, terlihat yang harus proaktif adalah PBPU itu sendiri. Padahal proses penge­nalan dan sosialisasi jamsos (JKK, JKM, JHT) ke PBPU masih san­gat rendah," tegasnya.

Karenanya, masih menurut Timboel, dalam pasal 2 itu harus ditambah peran pemerin­tah, baik pemerintah pusat dan daerah, untuk mendukung dalam proses pembuatan wadah atau kelompok, sehingga PBPU juga merasa yakin bahwa pemerintah ikut mendukungnya.

Selain itu, seharusnya Permenaker ini juga membuka peluang adanya PBI (Penerima Bantuan Iuran) bagi PBPU yang mis­kin, yang bisa diselenggarakan oleh Pemda, Kementerian atau swasta/BUMN (dengan meka­nisme CSR).

Di aturan itu, jelasnya, pem­batasan usia yaitu belum menca­pai usia 56 tahun untuk pendaft­aran bagi PBPU pada pasal 5 ayat 1b merupakan pengekangangan hak asasi PBPU untuk ikut pro­gram JKK, JKM dan JHT.

"Pekerja formal yang me­masuki usia pensiun 56 tahun ketika memutuskan untuk bekerja wiraswasta akan tertutup peluangnya ikut JKK, JKM dan JHT sebagai PBPU di aturan ini," ujar Timboel lagi.

Memang benar, PP Nomor 44 Tahun 2015 mengamanatkan adanya pembatasan usia. Namun, pembatasan usia 56 tahun tidak tepat. "Ini tidak adil. Seharusnya pembatasan adalah maksimal usia 65 tahun," ingatnya.

Sedangkan terkait ketentuan di pasal 18 ayat 2d tentang manfaat JKM yang dibayarkan kepada ahli waris yaitu berupa beasiswa pendidikan anak sebesar 12 juta rupiah, itu akan diberikan bila peserta meninggal. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA