
Pertamina tidak pernah menjual BBM kepada PLN melalui makelar. Pertamina hanya melakukan penjualan dengan model loco, dalam hal ini biaya pengiriman langsung ditanggung pembeli.
Hal itu sebagaimana diutarakan anggota Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Sabtu (31/12).
"Bahkan, sudah sejak lama Pertamina menerapkan model tersebut, termasuk dengan PLN,†jelas dia.
Menurut Ibrahim, kalau pun PLN sebagai industri pembeli solar meminta bantuan pihak lain, hal itu memang dimungkinkan. Apalagi, karena PLN memang tidak punya kemampuan melakukan pengangkutan dari depo menuju pembangkit.
Walau begitu, ditekankan dia lagi, titik serah antara Pertamina dan PLN memang hanya sampai depo. Sedangkan dari depo menuju pembangkit merupakan tanggung jawab PLN sendiri.
"Model ini sudah lama berlangsung, yaitu Pertamina menyerahkan di depo, tidak sampai pembangkit. Karena titik serah sudah terjadi di depo, maka pengangkutan BBM dari depo menuju pembangkit adalah murni tanggung jawab PLN, kecuali ada kesepakatan lain yang dikonsolidasikan,†kata dia.
Menurut Ibrahim, penentuan titik serah solar memang tergantung pada kesepakatan bersama antara Pertamina dan industri pembeli, termasuk PLN. Jadi itu bebas-bebas saja, apakah sampai tempat atau sampai mana.
Model serah terima barang seperti ini, menurut Ibrahim sangat dimungkinkan, karena penjualan solar dari Pertamina kepada PLN merupakan jenis BBM non subsidi. Hal ini berbeda dengan BBM bersubsidi, dimana penyerahan sampai pada konsumen. Sedangkan untuk BBM non subsidi, yang harus dianggap sebagai konsumen adalah PLN atau industri itu sendiri.
Terpisah, pengamat energi Universitas Indonesia, Wasis Susetio menambahkan, tidak ada pelanggaran yang dilakukan Pertamina. Sebab, penyerahan sampai depo sudah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Pada prinsipnya,lanjut dia, perjanjian merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak. Dengan demikian, jika pada kontrak tertulis bahwa penyerahan solar hanya sama depo, maka Pertamina hanya berkewajiban menyerahkan sampai tempat dimaksud. "Pertamina tidak menyalahi kontrak dalam posisi seperti ini. Juga tidak ada makelar, karena menyerahkan juga langsung kepada PLN di tempat yang sudah disepakati,†kata Wasis.
Wasis justru mempertanyakan, mengapa baru sekarang PLN mempersoalkan titik serah yang hanya sampai depo. Padahal, kondisi demikian sudah berlangsung sejak awal jual beli solar antara Pertamina dan PLN. "Mengapa tidak dari dulu-dulu dipertanyakan?†tanya dia.
Dalam konteks itulah Wasis mengatakan, harusnya Pertamina dan PLN bersama-sama membahas masalah tersebut dan mencari solusi. Kondisi demikian, lanjut Wasis, harusnya bisa disimulasikan termasuk mengenai manejemen risiko, termasuk potensi kerugian yang diakibatkan.
"Harus duduk bareng. Kalau kedudukan Pertamina sebagai agregator energi, maka itulah yang harus dipikirkan, termasuk hubungan-hubungannya dengan creator energi seperti PLN. Dengan demikian, yang dipikirkan tidak hanya sumber-sumber energy namun juga output, termasuk distribusi, sehingga biaya lebih efisien,†tandasnya.
[sam]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: