Kebijakan Industri Otomotif Carut Marut

Sabtu, 24 Desember 2016, 08:36 WIB
Kebijakan Industri Otomotif Carut Marut
Foto/Net
rmol news logo Produsen mengeluhkan ber­bagai kebijakan untuk industri otomotif yang masih carut-mar­ut. Apalagi, sinergi antar instansi pemerintah juga tidak ada.

Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Shinduwinata mengata­kan, sistem yang diterapkan di Indonesia masih terbilang beran­takan. "Artinya, tidak memiliki sinergi antar instansi dan lain­nya," ujarnya, kemarin.

Ia mencontohkan, pada instansi kepolisian belum memperbaharui daftar kendaraan yang masih aktif. Padahal, banyak kendaraan yang sudah tidak beroperasi, tapi masih disebut aktif. "Memerlukan ban­yak perbaikan, pungutannya juga tidak jelas," kata dia.

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Indonesia (Gaikindo) Jongkie D Sugiarto mengeluh­kan, kebijakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang masih tinggi. Pajak ini membuat pen­jualan sulit naik.

"Akibatnya harga menjadi mahal dan tidak terjangkau. Se­hingga hanya jenis mobil murah (Low Cost Green Car/LCGC) dan MPV (Multi Purpose Ve­hicle) yang laku," kata Jongkie.

Ia memperkirakan, penjualan tahun depan akan naik 5 persen dibanding tahun ini. Terkait dengan investasi baru tahun depan maupun penambahan kapasitas pabrik oto­motif khususnya mobil, belum ada.

Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengata­kan, dirinya memiliki beberapa catatan terhadap situasi saat ini. "Kondisi infrastruktur dalam negeri yang masih jauh dari be­berapa negara lain," ujarnya.

Menurut dia, regulasi yang terlalu banyak juga menjadi hambatan perkembangan indus­tri otomotif. Padahal, dari sisi penegakan hukum masih lemah sehingga investasi terus tertahan. "Indonesia masih dianggap kerumitan dari sisi luar biasa. Padahal sudah banyak regulasi. Tapi impelementasi tidak seperti yang dikatakan," ungkapnya.

Ia mencontohkan, izin domisili yang setiap tahun harus diper­baiki. Kami setiap tahun kalau mau minta izin, yang diminta izin domisili. Padahal pabrik mobil atau motor bukan keong yang bisa pindah-pindah,” ungkapnya.

Ia juga mengeluhkan, adanya regulasi yang mengatur investasi puluhan miliar harus mempunyai restu dari Ketua RT/ RW set­empat. "Ketidakpastian hukum yang berubah, sering menjadi momok," tukas dia.

Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan, bergejolaknya pen­jualakan industri otomotif sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, sayangnya kebijakan pe­merintah kontraproduktif dengan kondisi industri otomotif.

"Naik turunnya penjualan sampai positif-negatif, situas­inya tidak menentu sekali. Dua tahun terakhir pertumbuhan minus," kata Faisal.

Beberapa kebijakan yang memengaruhi industri otomotif, yakni kebijakan soal perpajakan, insentif program LCGC, BBM, dan bea masuk. "Jadi banyak yang tidak melihat bahwa naik-turunnya otomotif lebih banyak disebabkan kebijakan pemerin­tah," tambah Faisal.

Khusus sepeda motor, menu­rut Faisal, dalam tiga tahun belakangan mengalami tekanan cukup berat. Puncaknya, berada di 2016. "Jadi kalau pajak ditu­runkan permintaan naik. Kalau BBM naik tajam, otomotif lang­sung berasa," tukasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA