Subsidi solar yang nilainya sekitar Rp 7 triliun itu sebagian besar dinikmati oleh pengusaha transportasi dan pemilik kendaraan pribadi berbahan bakar solar yang pada umumnya kalangan mampu.
"Mereka adalah kalangan mampu yang tidak layak dapat subsidi. Demikian juga jenis kendaraan pribadi yang nilainya ratusan juta rupiah hingga miliaran. Tidak mungkin mereka itu dari kalangan yang layak dapat subsidi," kritik Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahean di Jakarta, Jumat
(16/12).
Inilah menurut dia, kesalahan model subsidi yang diterapkan pemerintah. Ada uang trilliunan yang dikucurkan secara cuma-cuma tapi dinikmati oleh kalangan mampu.
"Karenanya EWI mendesak pemerintah untuk mencabut subsidi solar dari APBN karena ternyata tidak dinikmati oleh rakyat kalangan bawah," tegasnya.
Menurutnya, subsidi solar ini tidak memenuhi rasa keadilan. Mekanisme subsidi harus diatur ulang. Ia menyarankan, lebih baik pemerintah menyubsidi lewat mekanisme pemotongan pajak kendaraan. Nilainya flat dan sama setiap kendaraan. Dengan demikian, ada keadilan besaran subsidi yang diterima dan tidak perlu menaikkan ongkos transportasi.
Sementara itu kepada masyarakat, khususnya pasar yang seharusnya mendapat subsidi, bisa dilakukan dengan cara membebaskan mereka dari segala bentuk pungutan dan pajak-pajak yang tidak perlu dipungut. Hal ini dinilainya lebih adil, karena semua menerima subsidi yang sama dan berkeadilan.
Pemerintah pun menurutnya tidak perlu kuatir dengan pihak-pihak yang ingin mempolitisir masalah subsidi solar ini. Jika pemerintah mampu menunjukkan mekanisme baru subsidi yang lebih tepat, maka semua bentuk pernyataan yang terkesan atau pura-pura membela rakyat tidak perlu dihiraukan.
"Subsidi produk harus dihentikan dan subsidi harus kepada orang. Subjek subsidinya harus tepat, subjek bergerak bukan produk, karena subsidi pada produk seperti BBM hanya dinikmati oleh kalangan mampu yang punya kendaraan," demikian Ferdinand.
[wid]