Dia mengungkapkan. pada tahun ini, produksi smelter nikel telah mencaÂpai 217,500 ribu ton dan akan meningkat menjadi 363 ribu ton pada tahun depan.
"Bayangkan untuk biÂjih nikel saja dibutuhkan kurang lebih 28 juta ton. Pembukaan ekspor bahan mentah, kendati mengguÂnakan skema bea keluar, tetap akan mengancam kesinambungan pasokan bahan mentah ke smelter. Jangan sampai kemajuan yang sudah dicapai ini malah menjadi mundur karena keinginan satu dua perusahaan. Perusahaan yang sudah membangun smelter dimatikan dengan kebijakan baru," kata Sukyar di Jakarta, pada akhir pekan lalu.
Sukhyar memuji sikap konsisten pemerintah mendukung hilirisasi.
"Itu kebijakan sangat bernilai strategis," imbuhÂnya.
Dia mengatakan, dampak program hilirisasi telah membuat sektor investasi bergairah. Beberapa smelter di luar negeri, seperti di Tiongkok bahkan saat ini sudah merelokasi pabriknya ke Indonesia. Hal ini menÂjadi momentum penting bagi Indonesia untuk maju ke tahap industrialisasi perÂtambangan.
Koordinator Nasional
Publish What You Pay InÂdonesia Maryati Abdullah meminta, kesinambungan program hilirisasi terus dijaga. Karena, kebijakan tersebut merupakan benÂtuk konsistensi pemerintah dalam memberikan kepasÂtian regulasi bagi semua pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Selain itu, kebijakan itu juga bentuk implemenÂtasi pemerintah atas mandat konstitusi dalam mengelola sumber daya alam. Karena, hilirisasi dapat memberikan nilai tambah yang sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
"Arah positif ini harus terus dipertahankan, jangan sampai pemerintah kendur dalam menerapkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah dan kewajiban membangun inÂdustri pengolahan dan peÂmurnian di dalam negeri," ungkapnya.
Selain nilai tambah, Maryati menilai, program hilirisasi berguna dalam mendukung dampak positif terhadap lingkungan. Paling tidak, hal tersebut dapat menahan laju eksploitasi besar-besaran sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebeÂlumnya. ***
BERITA TERKAIT: