Wakil Ketua Asosiasi PerusaÂhaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan HanÂdoyo menjelaskan, minimnya data cadangan barang tambang di Indonesia membuat perÂbankan memandang sektor ini berisiko tinggi.
"Kita nggak punya datanya, nggak tahu cadangannya. Ketika kita datang ke bank minta kredit, banknya juga nggak tahu apa itu smelter," katanya di Jakarta, kemarin.
Lantaran sulit mengajukan kredit, kata Jonatan, pembanguÂnan smelter di Indonesia jadi sulit dilakukan. "Pembuatan smelter baru butuh investasi yang tidak sedikit," ungkapnya.
Bila pemerintah punya data pertambangan terkait ketersediÂaan bahan tambang yang lebih baik, katanya, pengembangan smelter di dalam negeri bisa lebih mudah dilakukan.
Jonatan menambahkan, pihaknya mengapresiasi kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam dua tahun ini.
"Selama Jokowi, industri smelter ini sudah bagus. Sejak di tangan dia, padahal baru dua tahun," katanya. Positifnya perkembangan industri smelter, katanya, bisa dilihat pada data investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Tercatat, banyak investasi baru yang masuk di sektor pemurÂnian ini.
"Ini bukti di tangan Jokowi, investor di luar negeri berduyun-duyun datang. Dana Rp 5-6 triliun sudah masuk. Padahal, tahun 2012 baru mencapai Rp 2 triliun," katanya. Rata-rata perÂtumbuhan pabrik smelter baru di Indonesia mencapai 60 persen. "Di Morowali itu mulai dari nol, sekarang sudah dua smelter-nya. Besar-besar pula. Belum lagi di Cirebon, Banten juga ada dua," ujarnya.
Ketua Indonesian Smelter & Mineral Processing AssociaÂtion (ISPA) Sukhyar mengaÂtakan, pembangunan smelter cukup signifikan. "Sebagai contoh untuk komoditas niÂkel," ujarnya.
Di Tiongkok, banyak yang menutup smelter dan beralih ke Indonesia. "Mereka datang mengharapkan kebijakan peÂmerintah yang stabil. Wacana relaksasi ore (biji mineral) membuat ragu para investor," ujarnya.
Ia meminta pemerintah konÂsisten melarang ekspor biji minÂeral. "Kami menyampaikan ore agar tetap jangan diekspor. BerÂbeda dengan
processing mineral (mineral hasil pengolahan alias konsentrat) yang sudah ada nilai tambah," kata Sukhyar.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat TransporÂtasi dan Elektronika (ILMATE) dari Kementerian Perindistrian (Kemenperin) I Gusti Putu Surya Wirawan mengatakan, pemerÂintah akan terus menggenjot pertumbuhan industri smelter.
"Kemenperin merumuskan enam rekomendasi mengenai smelter untuk dibahas bersama dengan Kementerian ESDM," ujarnya. Ia menyampaikan rekoÂmendasi pertama yakni meminta BKPM memperjelas perizinan izin usaha industri (IUI) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kedua, meminta KementeÂrian ESDM menyusun neraca cadangan mineral. Kemudian ketiga, Kementerian ESDM dan Kemenperin menyusun kriteria dan jumlah smelter baru di daerah tertentu.
Dia memperkirakan, penÂgajuan pembangunan smelter akan meningkat seiring realisasi program pemerintah untuk peÂnambahan nilai hasil tambang. Karena itu, pemerintah harus bisa mengaturnya secara tertib.
"Smelter ini jumlahnya akan banyak, ada kekhawatiran apakah nanti semuanya akan mendapatkan bahan baku. Perlu ada pedoman.
Material balance harus ada," terangnya.
Rekomendasi keempat, lanÂjut dia, meminta Kementerian ESDM segera merevisi PeratuÂtan Pemerintah (PP) No.9/2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk Kementerian ESDM.
"Terkait royalti. Royalti hanya untuk barang tambang. Proses berikutnya sudah proses indusÂtri, pajak ya dalam bentuk PPN (Pajak Penambahan Nilai). Ada pengusaha smelter yang royaltiÂnya dipungut di hasil akhirnya," ungkapnya.
Kelima, revisi Peraturan MenÂteri (Permen) ESDM No.8/2015 tentang peningkatan nilai tamÂbah mineral. "Revisi ini lebih kepada besar kandungan nikel yang diwajibkan sebelum bisa diekspor," ucapnya.
Keenam, Badan PengkajiÂan dan Penerapan Teknologi (BPPT) diminta mengembangÂkan pusat unggulan mineral Indonesia. ***
BERITA TERKAIT: