Seperti dilansir detikfinance.com, data itu lima kali lebih besar dari impor beras untuk periode yang sama di tahun sebelumnya. Yaitu, impor beras hanya dilakukan sebanyak 229.611 ton atau 99,8 juta dolar AS. BPS mencatat, pemasok beras terbesar adalah Thailand dan Vietnam. Lainnya dengan volume dan nilai yang cukup besar adalah Pakistan, India dan Myanmar.
Berikut rincian impor beras selama Januari-September 2016: Thailand 505.590 ton atau 216,2 juta dolar AS, Vietnam 535.376 ton atau 212,5 juta dolar AS, Pakistan 63.992 ton atau 22,5 juta dolar AS, India 25.731 ton atau 11,7 juta dolar AS, Myanmar 13.775 ton atau 5,4 juta dolar AS dan negara lainnya 1.858 ton atau 4 juta dolar AS.
Rakyat Merdeka mencoba mengkonfirmasi dengan Ketua BPS Suhariyanto dan Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo ihwal data tersebut, namun keduanya tidak mengangkat telepon dan tidak menjawab pesan singkat yang dikirim.
Kendati begitu, Mentan Amran Sulaiman tidak menampik data yang disampaikan BPS. Namun, dia mengidentifikasi beras impor yang dicatat oleh BPS itu jenis beras khusus. Sebab, tahun ini pemerintah belum menerbitkan izin impor beras. "Itu beras khusus, itu kan kecil," ungkap Amran kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, kemarin. Bahkan, menurut dia, dengan lonjakan sampai hampir lima kali lipat, volume impor beras itu masih terlalu kecil jika dibandingkan produksi beras di dalam negeri yang mencapai 45 juta ton dalam setahun. "Kok lima kali lipat, itu kecil sekali. Tahu nggak, kita ini produksi 45 juta ton, apa sih artinya itu," cetusnya.
Seperti diketahui, sejak tahun 2015, pemerintah telah mengeluarkan izin impor beras khusus untuk bahan baku industri dan keperluan tertentu. Perincian izin impor beras jenis khusus tersebut adalah beras khusus untuk keperluan penderita diabetes, beras pecah 100 persen, beras ketan pecah 100 persen dan beras Japinica. Selain itu ada juga beras ketan, beras Thai Hom Malu, Beras Basmati dan beras kukus.
Meski begitu, Amran memastikan ketersediaan pangan, termasuk beras aman hingga pergantian tahun. Biasanya, tiga bulan ke depan adalah waktu rawan bagi masyarakat atas ketersediaan pangan. Sebab menjelang penutupan tahun terbiasa dengan harga pangan yang melambung.
Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Hermanto Siregar tidak terkejut jika tersiar data BPS kalau pemerintah impor beras hingga lima kali lebih besar dari tahun lalu. Pasalnya, dia juga meragukan sejumlah data yang menyajikan kalau Indonesia menuju swasembada beras. "Sebetulnya, banyak pihak meragukan data swasembada beras. Kalau betul swasembada, kenapa kita perlu impor? Mudahnya, kalau harga beras mahal berarti ada yang salah. Artinya, harapan pemerintah ingin swasembada ya tinggal kenangan," ujar Hermanto kepada
Rakyat Merdeka, tadi malam.
Anggota Komisi IV DPR, Hamdhani menyatakan, sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam dalam mengejar target swasembada pangan di tahun 2018. Pasalnya, sejumlah bantuan dalam skala besar sudah digelontorkan pemerintah. "Swasembada tinggal menunggu waktu dan kecepatan pemerintah saja. Kalau lambat ya bisa meleset," ujar Hamdhani kepada
Rakyat Merdeka, tadi malam. Menurutnya, jika pemerintah semakin gesit terjun ke petani, swasembada pangan seperti beras bisa tercapai. ***
BERITA TERKAIT: