Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menghitung, berdasarkan Permen ESDM tersebut, maka MOPS plus Alpha untuk premium di wilayah Jawa Madura, Bali (Jamali) dengan 51 dolar AS per barel dan kurs Rp 13.100 akan berada di kisaran harga Rp 6.400 per liter, sedangkan Non Jamali di angka Rp 6.150.
"Harga premium RON 88 bisa saja diturunkan sebesar Rp 300 per liternya," kata Mamit.
Sedangkan untuk solar, perhitungan MOPS 54 dolar AS per barel dan kurs Rp 13.100 HIP adalah Rp 6.250. Namun jika pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 500 sesuai dengan hasil rapat APBN-P 2016 maka harga jual ke masyarakat adalah Rp 5.750. Harga tersebut sudah termasuk PPn 10 persen, PPBKB 5 persen dan juga iuran BPH Migas 0,3 persen dari harga dasar. Ini berarti harga solar seharusnya mengalami kenaikan sebesar Rp 600 per liter.
"Yang jadi permasalahaan adalah untuk solar penggunaan terbesar adalah sektor transportasi di mana jika ada kenaikan harga solar maka secara otomatis akan ada penambahan beban operasional yang berakibat terjadinya kenaikan ongkos angkut," ujarnya.
Kenaikan solar jelas akan menyebabkan harga kebutuhan bahan pokok akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Belum lagi harga barang-barang lain, termasuk ongkos transportasi umum.
"Jelas, hal ini akan menambah beban hidup masyarakat kecil di tengah situasi ekonomi kita yang terus menurun," tegasnya.
Dampaknya inflasi yang cukup tinggi dan jumlah rakyat tidak mampu semakin meningkat.
Menurutnya memang seharusnya premium mengalami penurunan harga sebesar Rp 300 per liter, tetapi hal itu tidak akan berdampak terhadap penurunan harga barang dan kebutuhan pokok. Saat ini justru terjadi tren penurunan pengguna premium di mana sudah banyak yang beralih ke Pertalite dan Pertamax. Pengguna kedua produk tersebut sudah 45 persen dari total konsumsigasoline
.[wid]
BERITA TERKAIT: