Berdasarkan itu, muncul kesan seolah-olah Indonesia tidak pantas melakukan impor garam. Alasannya produksi garam tidak dilakukan di tengah laut, tetapi harus di darat (onshore). Selain itu, produksi garam juga sangat terpengaruh atas curah hujan, kondisi laut, dan ketersediaan lahan untuk membuat produksi garam lokal.
Begitu dikatakan oleh ekonom senior Faisal Basri.
"Fenomena di Indonesia tak kelebihan pasokan, tapi kekurangan pasokan (garam)," kata Faisal di Jakarta, Senin (26/9).
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, tahun 2014, kebutuhan garam Indonesia sebanyak 3,612 juta ton persen tahun. Sementara produksi garam lokal hanya sebesar 2,2 juta ton/tahun.
Di samping kekurangan pasokan ini, garam rakyat harganya juga sangat rendah, yakni berkisar Rp 200- Rp 300/kilogram. Padahal pemerintah tahun 2011 menetapkan, harga acuan garam untuk kualitas 1 (K1), sebesar Rp 750/kg, kualitas 2 (K2) Rp 550/kg. Kualitas garam lokal juga tidak memenuhi spesifikasi untuk digunakan bagi industri.
Menurut Faisal, Indonesia tidak akan bisa dipaksakan untuk mencapai swasembada garam, karena pengolahan garam lokal tidak menjadi fokus di tepi pantai. Pemerintah lebih cenderung mendorong penggunaan laut untuk sektor wisata dibanding mencetak lahan garam.
KKP sendiri telah mengucurkan dana Rp 200 miliar kepada PT. Garam, untuk membeli garam lokal produksi petani. Hal ini lantaran garam rakyat hanya sedikit yang dipergunakan, yakni untuk pengolahan ikan asin, sementara tidak cukup kualitasnya untuk industri.
Faisal menegaskan, kendati begitu, ia menjamin tidak ada praktek mafia dalam perusahaan importir garam. Tidak lebih dari 10 perusahaan yang diberikan oleh pemerintah sebagai importir garam. Garam rakyat harganya tertekan karena kualitas dan harganya jauh lebih rendah dibanding garam impor.
"Mafia itu nggak akan hidup kalau pemerintah tidak berikan izin. Nah kalau di garam, ini tertib, pelakunya nggak lebih dari 10 importirnya. Menurut saya tidak ada mafianya di garam," demikian Faisal
.[wid]
BERITA TERKAIT: