Ketua Komtap Industri Energi Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Agustinus Santoso mengatakan, hal itu tidak hanya membuat banyak investor mundur namun juga berpengaruh pada penilaian tender terhadap bankability para bidder.
"Selain perencanaan yang amburadul, PLN juga tidak investor oriented," katanya kepada wartawam di Jakarta, Jumat (23/9).
Santoso mencontohkan proyek PLTU Jawa-1, di mana terdapat klausul yang justru membuat ketidapastian revenue investor. Klausul terkait gangguan suplai LNG tersebut mengatakan jika PLN tidak mampu menyediakan LNG maka bidder tidak akan dibayar meskipun pembangkit beroperasi.
"Klausul itu kan sangat tidak fair dan memunculkan ketidakpastian revenue," ujarnya.
Ketidakpastian tersebut berdampak sangat luas, termasuk diantaranya terhadap bankability para bidder. Pihak bank tentu tidak akan memberikan pinjaman jika terdapat ketidakpastian pembayaran. Sebab, siapa yang akan menanggung pinjaman para investor jika mereka tidak dibayar oleh PLN.
"Sangat aneh karena dirut PLN adalah mantan orang bank. Yang tentunya sangat paham masalah ini," lanjut Santoso.
Menurutnya, klausul tersebut menunjukkan bahwa PLN tidak percaya diri. PLN mengubah skim tender yakni dengan mengambil alih penyediaan LNG yang sebelumnya dilakukan investor. Itu sebabnya, seperti juga proyek pembangkit lain, tender Jawa-1 pun berpotensi mengalami kegagalan. Pasalnya, para bidder kemungkinan akan memasukkan catatan terhadap klausul tersebut. Dan jika semua peserta memasukkan catatan berarti bahwa para bidder tidak comply terhadap persyaratan. Jika itu terjadi maka tidak akan diputuskan oleh PLN. Artinya, tender tidak berhasil dan PLN akan melakukan tender ulang.
"PLN harus menghindari situasi ini. Kalau tidak dihindari, ongkosnya sangat mahal dan tidak akan ada investor yang sanggup. Jika itu terjadi maka PLN harus membangun sendiri. Padahal, jika itu terjadi, maka tidak akan bisa seefisien seperti dilakukan swasta," jelas Santoso.
Bukan hanya PLTU Jawa-1 yang bermasalah. Pada PLTU Jawa-5 PLN membatalkan tender setelah proses tender berlangsung 14 bulan. Ujung-ujungnya, PLN melakukan penunjukan langsung kepada anak perusahaannya Indonesia Power.
"Dari sisi keuangan, Indonesia Power tidak akan mampu menjalankan sendiri karena juga memiliki tanggung jawab pengerjaan pembangkit-pembangkit lain. Maka, Indonesia Power harus menggandeng mitra. Yang menjadi masalah dalam menentukan mitra, Indonesia Power berpotensi mendapat tekanan dari PLN," ujar Santoso.
Selain itu, kegagalan juga terjadi di PLTU Sumsel-9, PLTU Sumsel-10, PLTMG Pontianak, dan PLTG Scattered. Sementara, pada PLTU Jawa-7 terjadi pelanggaran proses tender, di mana pemenang tidak memasukkan harga (EPC).
Sementara itu, analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Kusfiardi menambahkan, berbagai kegagalan dalam melaksanakan tender pembangkit listrik 35 ribu MW menunjukkan bahwa kinerja PLN tidak profesional.
"Penyebabnya karena tata kelola yang memang buruk sehingga semua proses tender tidak bisa dilakukan dengan baik. Mulai perencanaan tender, pendaftaran, hingga penilaian tender," katanya.
Selain persoalan tata kelola, kegagalan tender juga karena PLN menjadi tunggangan kepentingan pemilik modal, terutama kartel energi. Hal ini bisa dilihat bahwa tidak sedikit pemain yang bergerak di sektor listrik ternyata juga merupakan bagian dari pengambil keputusan.
Selain kedua penyebab tersebut, Kusfiardi juga menduga terjadi diskresi pada proses tender. Dalam hal ini, karena tidak ada peserta yang memenuhi persyaratan maka tender dianggap gagal. Sehingga PLN punya kesempatan melakukan penunjukan langsung.
"Jika benar ini kesengajaan maka sudah merupakan moral hazard," tegasnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: