Semoga Isu Fed Rate Tak Lagi Bebani Ekonomi Kita

Tenor Suku Bunga 7 Hari Dianggap Lebih Realistis

Selasa, 30 Agustus 2016, 08:40 WIB
Semoga Isu <i>Fed Rate</i> Tak Lagi Bebani Ekonomi Kita
Foto/Net
rmol news logo Minggu ini pasar keuangan global kembali digoyang isu kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (The Fund Fed Rate/FFR) jelang akhir September. Meski begitu, pasar Indonesia diminta tidak terlalu khawatir karena fundamental ekonomi Indonesia yang mulai membaik.

Isu kenaikan FFR 2016 su­dah dihembuskan sejak tahun lalu. Namun kenyataannya, memasuki kuartal III The Fed tak kunjung menaikkan suku bunganya.

Pengamat Rupiah dan Pasar Keuangan Farial Anwar memak­lumi jika The Fed sudah berkali-kali mewacanakan kenaikan suku bunga. Namun melihat ekonomi AS yang masih belum stabil, Farial percaya, The Fed bakal kembali menundanya.

"Ekonomi AS masih melam­bat di kuartal II tahun ini, tetapi memang pertumbuhan lapangan kerja baru menjadi pertimbangan The Fed. Tapi bagi saya itu tidak terlalu signifikan untuk mengerek suku bunga The Fed," ujar Farial saat berbincang dengan Rakyat Merdeka, kemarin di Jakarta.

Farial juga melihat, kalau­pun Fed Rate jadi dinaikkan, dampaknya tidak akan begitu membebani perekonomian Indonesia. Hal ini lantaran acuan baru yang diterapkan Bank Indonesia (BI) yakni 7-Day Reverse Repo Rate.

"Kalau dulu zaman BI Rate, Fed Rate selalu menjadi per­timbangan untuk menurunkan BI Rate. Tapi kalau sekarang, karena acuannya lebih realistis, sepertinya bunga dengan tenor 7 hari tersebut akan tetap diper­tahankan di level 5,25 persen," yakinnya.

Apalagi, kata Farial, bunga tersebut juga dimaksudkan un­tuk menarik dana asing kem­bali ke Indonesia dalam kebi­jakan pengampunan pajak (Tax Amnesty). Di mana Indonesia akan menawarkan bunga yang menarik dibanding luar negeri.

"Tujuannya agar investor maupun yang punya dana di luar negeri lebih tertarik menyimpan uangnya ke Indonesia dibanding Singapura, Malaysia maupun negara Asia lainnya," terang Farial.

Analis PT Samuel Sekuritas Indonesia Rangga Cipta meli­hat, pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen, Jumat (26/8) waktu setempat, justru membuat dolar berpeluang menguat terhadap kurs mata uang di negara-negara Asia.

Namun, Rangga memprediksi, sentimen pernyataan Yellen pada ketidakpastian di pasar global, hanyalah bersifat sementara. "Sentimennya temporer, karena data ekonomi AS yang dirilis justru memburuk," terang Rangga.

Sebelumnya, dalam pidato di Jackson Hole, Yellen mengatakan, alasan untuk kenaikan Fed Fund Rate telah menguat dalam beberapa bulan tera­khir. Pernyataan Yellen ini lebih hawkish (penyataan keras), dan mendorong laju dolar AS menguat.

Meskipun pertumbuhan ekonomi AS melambat pada kuartal kedua tahun ini, namun Yellen mengatakan, penciptaan lapan­gan kerja baru yang tumbuh signifikan akan dipertimbang­kan dalam kebijakan suku bun­ga mendatang. Dia optimistis perekonomian Negeri Paman Sam akan tumbuh moderat ke depan.

"Saya percaya ruang untuk menaikkan bunga Fed menguat dalam beberapa bulan terakhir," kata Yellen dalam pidatonya seperti dikutip dari Reuters.

Rencananya, pada minggu ke­tiga September FOMC (Federal Open Market Committee) akan menggelar rapat, salah satunya untuk menentukan apakah Fed Rate layak naik atau tidak. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA