Anggota Komisi XI Johny G. Plate menjelaskan, tiga lembaga tersebut menjadi acuan dunia usaha sebagai corong informasi kelaikan berinvestasi berdasarkan sovereign credit rating di tiap negara. Sehingga, mau tidak mau, pemerintah harus memperbaiki postur RAPBN 2017 terutama pada asumsi makro.
Menurutnya, asumsi Makro dalam RAPBN 2017 sampai saat ini masih menggunakan asumsi lama yang terlalu optimistis. Koreksi terhadap asumsi bisa dimulai dengan memperbaiki harga acuan minyak dan gas dan target lifting. Kalau tidak, ancaman defisit Rp 332,8 triliun atau 2,41 persen dari produk domestik bruto (PDB) tidak bisa dihindari.
"Penghitungan saya, itu RAPBN 2017 di bawah sedikit Rp 2.000 bukan Rp. 2.070 seperti kita tahu saat ini," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (19/8).
Johny mengatakan, kredibilitas APBN sangat penting. Investasi dari negara lain akan berbondong-bondong masuk ke dalam berbagai macam bentuk investasi di dalam negeri jika Indonesia mampu meraih investment grade. Untuk menaikkan kredibilitas APBN, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya termasuk efisiensi dan menggenjot penerimaan dari pengampunan pajak atau tax amnesty.
Namun demikian, lanjutnya, untuk mendapatkan predikat investment grade perlu upaya lain seperti dengan menaikkan kredibilitas anggaran dari sisi pembiayaan dan belanja negara.
"Saat ini BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) tengah hold Rp 7.000 triliun modal yang siap masuk ke dalam negeri, tapi posisinya masih wait and see karena investment grade masih belum didapat," jelas Johny.
Ditambahkannya, pemerinttah masih punya waktu sampai November 2016 sebelum Fitch, Moody’s, dan Standard and Poor memperbaiki rating investasi. Jika pembahasan antara pemerintah dengan DPR terkait RAPBN 2017 seperti yang diharapkan maka pipe line investasi terbuka lebar dan pasar modal dalam negeri akan dibanjiri oleh investor.
[wah]
BERITA TERKAIT: