Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdulhamid Dipopramono mengingatkan, UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan bahwa setiap kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik) harus dilakukan secara transparan guna memenuhi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, bebas dari manipulasi, akuntabel, dan untuk menumbuhkan kepercayaan (trust) dari publik kepada pemerintah, sebagai pengambil kebijakan.
"Pemerintah tidak cukup hanya mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan implementasi dari undang-undang nomor 30 tahun 2007 tentang Energi. Juga tidak cukup dengan mengatakan energi fosil kita yang tak terbarukan akan segera habis," tegasnya.
Pemerintah, lanjut dia, harus mulai lebih detail dan objektif argumentasinya kepada rakyat sebagai konsumen BBM dan objek pungut.
Menurut dia, selain atas alasan UU, yang itu pun harus diterjemahkan lebih lanjut ke dalam peraturan pemerintah, maka pemerintah harus terbuka terhadap komponen biaya produksi BBM dan profit yang diambil, sehingga ada alasan harga BBM menjadi seperti sekarang ini, yakni premiun Rp 7.400 dan solar Rp 6.700 per liternya dan per 5 Januari 2016 akan diturunkan menjadi Rp 7.150 untuk premium dan Rp 5.950 untuk solar.
"Kini momentum bagi pemerintah dan PT Pertamina, sebagai BUMN migas, untuk mulai terbuka ke publik, disebabkan publik merasa harga BBM masih mahal dan akan dipungut biaya untuk ketahanan energi," jelasnya.
Apalagi, menurut dia, pemerintah sudah berani melikuidasi Petral yang selama ini dianggap makelar dan bagian dari ekonomi rente. Tapi kenyataannya tak ada perubahan signifikan setelah likuidasi Petral.
"Ini harus dijelaskan ke publik, agar tidak tumbuh pemikiran bahwa Petral yang dilikuidasi hanya digantikan oleh 'Petral baru' dan hanya berganti pemain," katanya.
[wid]
BERITA TERKAIT: