20 Tahun WTO, 20 Tahun Penindasan Petani

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 11 Desember 2015, 17:20 WIB
rmol news logo Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan melaksanakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-10 di Nairobi, Kenya pada 15-18 Desember mendatang.

Dalam forum pengambilan keputusan tertinggi WTO ini, isu pertanian kembali menjadi yang paling hangat. Jika dihitung dari sejak efektif negosiasi, maka WTO sudah berumur 20 tahun.  

"Salah satu tujuan berdirinya WTO adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara anggotanya. Namun fakta yang terjadi malah sebaliknya, petani kita semakin miskin," ujar Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih.

Sebagai gambaran, papar dia, data terakhir menyatakan kemiskinan di desa meningkat hingga 17,94 juta jiwa. Pernyataan ini didukung dengan data yang menyatakan bahwa daya beli petani yang tak kunjung meningkat. Nilai Tukar Petani (NTP) stagnan dalam dua dekade terakhir, tak lebih dari 102.

Jika dirunut, menurut Henry, hal ini karena petani tidak dapat menentukan harga sendiri karena banyak yang tidak bisa bersaing dengan pangan impor.

"Produk pangan petani kita tidak dapat bersaing dengan produk pangan overproduksi negara maju. Produk-produk pertanian impor dari negara maju kebanyakan harganya sangat murah karena subsidi, " jelasnya.

Bukti nyata jomplangnya harga bisa dicermati dari harga kedelai, susu, jagung, gula, garam, bahkan beras. Amerika Serikat menggelontorkan subsidi pertanian sebesar 130 miliar dolar AS, sementara Uni Eropa 109 miliar dolar AS.

Namun WTO kini kebakaran jenggot karena usulan negara berkembang untuk lebih melindungi negara mereka dari serbuan impor, juga usulan subsidi pertanian. India bersama Indonesia, China mengusulkan subsidi pertanian lebih dari 10 persen, persentase yang seharusnya tak dibolehkan perdagangan bebas.

"WTO telah menindas hak atas pangan kita. Mengapa negara kita harus minta permisi untuk melindungi petani lebih dari 10 persen?" cecarnya.

Hendry menegaskan, kewajiban negara untuk melindungi dan menegakkan hak-hak warganya, terutama hak yang paling asasi seperti pangan.

"Petani kecil butuh perlindungan, insentif dan pasar yang adil untuk kehidupan mereka. Hal ini tidak dimungkinkan dalam WTO, bahkan perjanjian perdagangan bebas lain macam FTAs dan Trans Pacific Partnership (TPP)," ujar Henry lagi.

"Satu lagi, WTO adalah forum yang tidak demokratis. Yang berunding selalu negara maju, plus kepentingan perusahaan multinasional agribisnis, agrokimia dan hak paten," imbuhnya.

Menurutnya, sudah saatnya Indonesia memikirkan secara kritis posisinya di WTO, terutama terkait program kedaulatan pangan nasional di Nawa Cita Jokowi-JK.

"20 tahun WTO adalah 20 tahun penindasan petani. Kita sudah menyuarakan hal tersebut sejak awal," jelasnya.[wid]
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA