Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya mengakui, kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA masih sangat minim. Padahal, diyakini Indonesia akan menjadi pasar utama bagi berbagai produk dan jasa dari negara anggota.
"Jangan sampai kita jadi bulan-bulanan, dikepung dan dibanjiri oleh produk-produk mereka tanpa kita mendapatkan manfaat," katanya dalam seminar bertema 'MEA: Antara Nasionalisme dan Pasar Bebas Tenaga Kesehatan' yang digelar di Universitas MH. Thamrin, Jakarta, Sabtu (28/11).
MEA sendiri akan diikuti oleh 10 negara Asean dengan total penduduk mencapai 600 juta jiwa atau 9,5 persen penduduk dunia. Dari jumlah penduduk anggota MEA, sebanyak 43 persennya ada di Indonesia, tidak heran Indonesia akan menjadi pasar utama yang besar untuk arus barang dan investasi.
Menurut Tantowi, dalam seminar yang digagas Developing Countries Studies Center (DCSC) dan Universitas MH. Thamrin, MEA tidak hanya untuk perdagangan barang dan jasa. Namun juga tenaga kerja profesional seperti dokter, pengacara, akuntan dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, jika tidak ada persiapan dengan baik, maka MEA justru akan menciptakan resiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Mengingat tenaga kerja lokal masih kalah bersaing.
Dia menambahkan, ada sejumlah tantangan besar bagi Indonesia dalam menghadapi pasar bebas masyarakat Asean. Diantaranya masih tingginya jumlah pengangguran terselubung, dan rendahnya jumlah wirausahawan baru untuk mempercepat perluasan kerja.
Sebagai perbandingan percepatan wirausahawan baru Indonesia baru sekitar 1,65 persen. Sedangkan Singapura sebesar 7 persen dan Thailand sebesar 4 persen.
Belum lagi, di sektor ketenagakerjaan, pekerja Indonesia masih didominasi oleh pekerja tidak terdidik sehingga produktifitasnya rendah.
"Pengangguran di Indonesia tertinggi di antara 10 negara Asean anggota MEA lain. Kemudian, sektor informal masih mendominasi lapangan pekerjaam. Dimana sektor ini justru belum mendapat perhatian dari pemerintah," beber Tantowi.
Salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia saat ini, yakni menyiapkan generasi muda yang terampil. Khususnya di bidang kewirausahaan, Iptek dan bahasa.
Termasuk mendorong pemerintah dan DPR untuk menyiapkan seluruh infrastruktur yang diperlukan.
Khusus MEA dan tenaga kesehatan, diingatkan, sampai saat ini di Indonesia juga belum tumbuh dorongan atau kewajiban untuk mendapatkan sertifikasi internasional.
Di bidang ini pula, tenaga analisis kesehatan nasional masih jauh tertinggal. Sebagai perbandingan, tenaga analisis kesehatan di Asean sebagian besar sudah berpendidikan S1. Sementara di Indonesia masih D-III.
Selama ini, hampir satu juta orang Indonesia setiap tahun pergi ke luar negeri untuk berobat. Kondisi yang menghabiskan devisa sedikitnya USD 1,5 miliar atau sekitar Rp 20 triliun per tahun.
[sam]
BERITA TERKAIT: