"Di Indonesia keberadaan atau domisili kepemilikan alat berat belum merata, 68 persen masih berada di Jakarta sedangkan sisanya menyebar di beberapa provinsi di Indonesia," kata Yusid Toyib dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (23/10).
Yusid menerangkan, hal yang harus diperhatikan antara lain adalah usia alat berat konstruksi agar jangan banyak yang usang berpotensi mengakibatkan kecelakaan kerja.
Ia juga mengemukakan, ke depan para pengusaha pemenang tender proyek Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan nilai Rp 200 miliar ke atas, diwajibkan untuk memiliki alat berat, atau
leasing alat berat.
"Hal ini diatur di Permen PUPR no 31 tahun 2015 tentang Pedoman Pengadaan Perkerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultasi," katanya.
Selain itu, ujar dia, tantangan lain yaitu informasi kebutuhan alat berat dalam konteks kuantitas, kualitas, dan lokasi belum akurat, maka diperlukan basis data, baik yang dimiliki oleh BUMN/BUMD, Swasta, Pemerintah Pusat/Daerah dan usaha penyewaan alat berat.
Ditjen Bina Konstruksi juga melakukan langkah penyusunan katalog Alat Berat Konstruksi agar pengguna dalam memilih alat berat sesuai dengan kebutuhan pekerjaan yang akan dilaksanakan.
"Para pengusaha alat berat harus tetap menjaga optimisme, bahwa di depan masih ada harapan dan peluang untuk membangun Indonesia menjadi lebih besar," kata Yusid Toyib.
Menurut dia, seiring dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian Indonesia, pengusaha alat berat diminta untuk terus optimis, karena pasar konstruksi terbesar di Asia Tenggara mulai menggeliat.
[wid]
BERITA TERKAIT: