RUU Larangan Miras Jangan Abaikan Aspek Ketenagakerjaan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 04 Agustus 2015, 09:45 WIB
rmol news logo RUU Larangan Minuman Beralkohol atau biasa dikenal minuman keras (miras) telah rampung pada tahap pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan di tingkat Panja Badan Legislasi di DPR RI. Namun, Barisan Rakyat Anti Korupsi dan Kriminalisasi (BRAKK) berpendapat, RUU tersebut harus dikaji kembali sebelum disahkan menjadi UU.

"Aspek pendapatan negara dan ketenagakerjaan harus dipikirkan sebelum RUU ini disahkan menjadi undang-undang," kata koordinator BRAKK, Hans Suta Widhya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (4/8).

Ia sependapat efek negatif dari minol atau miras memang harus diperhatikan agar tidak berdampak buruk terhadap masyarakat. Namun kembali ia menekankan, aspek ketenagakerjaan dan lapangan pekerjaan juga harus dilihat bila pelarangan total produksi dan distribusi miras dilakukan.

"Hal ini bisa memunculkan jutaan pengangguran baru dari ditutupnya perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Karena itu saya menyarankan agar RUU tersebut tidak berjudul pelarangan tetapi pengendalian minuman beralkohol atau miras," jelasnya.

Dengan pengendalian, lanjut Hans, efek negatif dari miras atau minol itu sendiri bisa ditekan dengan tidak menumbalkan jutaan tenaga kerja yang bekerja di sektor terkait.

Lanjut Hans, berdasarkan riset CSIS 2015, pelarangan total seperti produksi dan konsumsi berakibat hilangnya pendapatan negara sebesar Rp 21,82 triliun atau setara 0,11 persen dari GDP meliputi seluruh sektor terkait.

"Jumlah tersebut tidak termasuk pendapatan cukai minuman beralkohol sebesar Rp 4,9 triliun (2014) atau Rp 6 triliun (target 2015. Bahkan, pendapatan dari sektor jasa restoran dan perhotelan akan hilang Rp 1,4 triliun karena aktifitas produksi dan distribusi terhenti," jelas Hans.

Tak hanya itu, tambah dia, lebih dari 100 ribu tenaga kerja akan kehilangan pekerjaan yang meliputi tenaga kerja langsung dan tenaga kerja sektor terkait, seperti pengangkutan, distribusi, hingga pertanian. Karena, bila distribusi minuman beralkohol dihentikan secara total, pengurangan tenaga kerja terbanyak justru berada di sektor agriculture (pemasok bahan baku minol) dan jasa.

"Bahkan, pelarangan total justru akan memicu pasar ilegal minuman beralkohol yang lebih besar dan susah dikontrol. Dengan demikian, sebaiknya RUU tersebut tidak berjudul pelarangan tetapi pengendalian," tuturnya.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA