Pengamat ekonomi dari UBK Gede Sandra mengatakan, Jokowi harus tetap berpegang pada Pancasila dan Trisakti. Sebab, ekonom yang dipercaya pasar, seperti Sri Mulyani bermazhab neoklasik
"Pak Jokowi dapat mendengarkan masukan tentang ekonomi dari mana saja, tetapi sebagai kader Marhaenis, bukan kebijakan ekonomi yang dipercaya pasar yang kita perlukan, melainkan kebijakan ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial, sesuai Sila Kelima Pancasila dan Berdikari Sesuai Sakti Pertama Trisakti," terang Gede dalam perbincangan dengan redaksi, Senin (29/6).
Dia menegaskan, kiblat perekonomian Indonesia adalah mengangkat yang miskin dengan uluran tangan dari yang sangat kaya, bukan memperkaya yang sudah sangat kaya.
"Kebebasan yang 'kebablasan' tersebut telah menyebabkan ketimpangan di antara umat manusia yang luar biasa, dan terenggutnya kedaulatan ekonomi banyak Bangsa hingga kini," terang Gede.
Dia jelaskan, penerapan mazhab neoklasik yang cenderung membebaskan pasar bekerja tanpa intervensi negara selama 40 tahun terakhir, juga telah berujung pada krisis finansial dunia tahun 2008. Promotor mazhab ekonomi pasar tersebut adalah lembaga tempat Sri Mulyani bekerja, Bank Dunia, dan lembaga sekawannya di Bretton Woods, IMF.
"Sementara lembaga yang sebagian besar pekerjaannya adalah membereskan masalah ketimpangan sosial tersebut adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB pula, lembaga internasional yang ke depannya, adalah milik masyarakat dunia baru yang multipolar dan berkeadilan. Berseberangan dengannya. Bank Dunia ingin tetap mempertahankan dunia unipolar di bawah kendali AS dan sekutu Baratnya," terangnya.
Karena itu Gede menyimpulkan, bukan ekonom yang menjadi bagian Bank Dunia, melainkan ekonom yang menjadi bagian PBB yang seharusnya dipilih Pak Jokowi untuk menjadi pemimpin dari Tim Ekonomi.
"Itu jika Pak Jokowi memang benar dapat membaca arah dinamika maju pergerakan kemanusiaan," tandasnya.
[sam]
BERITA TERKAIT: