Peneliti
Institute for DevelopÂment of Economic and Finance (Indef) Mohammad Reza Hafiz mengatakan, produksi komoditas pangan utama di Indonesia seperti padi, jagung, kedelai, gula masih jauh dari target produksi.
"Sehingga mendorong dilakuÂkannya impor untuk menutup kekurangannya," kata Reza di acara diskusi menjinakkan kartel ekonomi di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, sistem tata niÂaga pangan di Indonesia tidak berjalan baik. Hal ini mengakiÂbatkan sistem rantai pasok koÂmoditas pangan tidak efisien dan menyebabkan maraknya kartel dalam perdagangan pangan.
Dia mengatakan, munculnya kartel pangan di Indonesia tidak terlepas dari
Letter of Intent (LoI) yang dikeluarkan IndoneÂsia untuk mendapatkan kucuran dana bantuan dari
International Monetary Fund (IMF).
Menurutnya, Lol IMF telah membuat tata niaga pangan strategis dilempar ke mekanisme pasar sehingga para pebisnis dengan modal besar menguasai pasar, dan mengganggu tata niaga pangan.
"Menjamurnya kartel karena Lol IMF, yang memerintahkan unÂtuk impor pangan dan melempar tata niaga pangan ke mekanisme pasar, sehingga terjadi persaingan tidak sehat," katanya.
Indef mencatat, kesejahteraan petani makin memburuk akibat adanya praktek kartel. Nilai TuÂkar Petani (NTP) terus menurun dalam tiga tahun terakhir, dari 105,24 menjadi 104,91 dan terus terjun hingga 102 pada 2014 lalu. Untuk itu, KPPU diminta lebih berperan langsung dalam pengawasan di pasar petani.
Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) MuÂhammad Syarkawi Rauf mengaÂtakan, masih banyaknya kartel pangan karena hukumannya ringan. Ini membuat pelaku tidak jera.
Dia bilang, sanksi yang diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktik moÂnopoli hanya denda minimal Rp 1 miliar dan paling tinggi Rp 25 miliar. "Hukuman para pelaku kartel itu terlalu ringan di Indonesia. Maksimal hanya Rp 25 miliar. Padahal usaha mereka bisa menghasilkan Rp 50 miliar -Rp 750 miliar," ujarnya.
Karena itu, Muhammad meÂminta pemerintah mengajukan amandemen UU Nomor 5 Tahun 1999 itu ke DPR. ***