Direktur Indonesia Maritime Institute, Dr. Yulian Paonganan kembali menegaskan, untuk dipahami, sejak zaman dahulu, perairan nusantara sudah menjadi poros maritim dunia, di mana kapal-kapal dagang dunia melintasinya. Ini artinya, konsep poros maritim yang didengungkan Jokowi dan Kabinet Kerjanya menunjukkan ketidakpahaman atas substansi dan kondisi realistik geostrategis, geopolitik dan geoekonomi Indonesia.
"Lalu konsep Tol Laut yang adalah ciplakan dari konsep Pendulum Nusantara era pemerintahan SBY-Boediono bukanlah konsep yang bisa membuat disparitas harga di barat dan timur NKRI bisa diminimalkan," tuturnya kepada Kantor Berita Politik
RMOL, Jumat (26/12).
Permasalahan disparitas harga antara wilayah barat dengan timur atau sebaliknya, jelas dia, bukan pada ketersediaan kapal atau pelabuhan, tapi tidak
balance-nya angkutan logistik. Dan, prinsip
trade follow the ship dalam Tol Laut Jokowi sebetulnya hanya bisa diterapkan pada sebuah wilayah yang distribusi logistiknya
balance.
"Harusnya prinsip yang bisa diterapkan di NKRI dengan kondisi sekarang adalah
ship follow the trade dengan membangun sentra produksi berbasis SDA agar logistik bisa balance, sambil perlahan memperkuat infrastruktur pelayaran," terangnya.
Di sisi lain, menurutnya pula, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti telah salah menerjemahkan maritim hanya sebatas ikan.
"Dia (Menteri Susi) begitu getol bicara tentang
illegal fishing, sementara kegiatan illegal lainnya di laut seperti
illegal mining,
illegal logging lewat laut, human
trafficking, penyelundupan narkoba lewat laut dan lain sebagainya diabaikan," kritiknya.
Begitu juga instruksi penenggelaman perahu ikan illegal milik asing yang dinilainya terkesan mengabaikan kapal-kapal raksasa maling ikan dan kapal pencuri pasir laut serta banyaknya pemalsuan umur kapal yang beroperasi di perairan Indonesia.
"Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep maritim Jokowi jauh panggang dari api," demikian Ongen.
[wid]
BERITA TERKAIT: