Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu Indonesia dihadapkan dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dolar nyaris menembus Rp 13.000, yang merupakan level tertinggi sejak Agustus 1998.
Peneliti Insitute Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng meyakini pertemuan tersebut bukan jalan gampang mengakhiri konflik yang terjadi antara BI dan OJK.
"Konflik antara BI dan OJK merupakan konflik kelembagaan. Hal ini dikarenakan adanya ruang kewenangan yang sama dari dua lembaga yang independen dalam mengurusi masalah perbankan," kata Salamuddin dalam pesan elektroniknya, Selasa (23/12).
Menurut dia sumber kekacauan yang terjadi antara BI dan OJK adalah Amandemen UUD 1945 dan reformasi kelembagaan yang dimotori IMF, WB dan ADB yang melahirkan BI yang independen, selanjutnya UU BI melahirkan OJK yang juga independen. Setelah muncul peraturan ini, BI dan OJK merupakan lembaga keuangan dengan kedudukan setara dan tak bisa diintervensi oleh Presiden.
Masalah lainnya, kata dia, OJK tak mungkin melepaskan cengkramannya atas perbankan karena perbankan merupakan sumber iuran terbesar bagi OJK. Di tengah badai krisis keuangan yang saat ini melanda Indonesia terutama sektor perbankan dan keuangan yang memiliki tanggungan utang luar negeri paling besar, menurut Salamuddin, konflik kelembagaan BI dan OJK sangat menyeramkan.
"Di saat yang sama perbankan menjadi sasaran bancakan OJK, sementara jika perbankan kolaps, OJK tak bertanggung jawab," tukasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: