Ketua Umum Amkri Soenoto meÂngaÂtakan, pemberlakuan SVLK tahun depan akan menjadi batu sandungan bagi pengusaha kaÂrena memasuki era
ASEAN EcoÂnomic Community (AEC). SoalÂnya pemÂbiayaan pengurusan SVLK mahal, terutama bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM).
Saat ini IKM yang bergerak di bidang kerajinan kayu jumÂlahnya sudah 85 persen unit usaÂha,†katanya di Jakarta, kemarin.
Soenoto mengatakan, berdaÂsarÂÂkan kajiannya, lebih baik SVLK diberlakukan di sektor hulu yakni industri pengolahan kayu dan industri yang mengÂgunakan kayu dalam skala besar seperti peruÂsahaan pulp and paper.
Menurut dia, pemberlakukan SVLK bagi pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia untuk meningkatkan ekspor juga tidak relevan. Sebagai perbandingan, Vietnam dan Malaysia nilai ekÂspornya terus tumbuh di atas IndoÂnesia padahal negara itu tidak memberlakukan kebijakan SVLK di negaranya.
Selain itu, pemberlakukan SVLK di Indonesia juga akan saÂngat menguntungkan negara saiÂngan Indonesia seperti China dan negara produsen di kawasan Eropa.
Dampak regulasi ini sebeÂnarnya akan menghambat laju pertumbuhan ekspor industri meÂbel dan kayu Indonesia di pasar global,†jelas dia.
Untuk itu, Amkri meminta pemerintah menunda rencana pemberlakukan SVLK untuk IKM.
Berdasarkan data Amkri, peruÂsahaan eksportir terdaftar berbaÂsis kayu berjumlah 5.057 unit usaha. Sedangkan perusahaÂan eksportir yang telah memiliki sertifikasi legalitas (SLK) baru 1.500 unit usaha atau sekitar 29 persen.
Masih banyak pelaku IKM yang belum mengurus SVLK. Padahal waktunya sebentar lagi,†ucap Soenoto.
Masih banyaknya pelaku usaha yang belum mengurus SVLK karena tingginya biaya untuk mendapatkan itu.
Karena itu, kami meminta Kementerian Perdagangan meÂnunda pelaksanaanya. Untuk memÂperoleh SVLK pelaku usaha harus merogoh kocek Rp 25 juta hingga Rp 40 juta,†ungkap Soenoto.
Sekjen Amkri Abdul Sobur mengatakan, jika pemerintah ngotot memberlakukan kebijakan tersebut akan berdampak pada stagnansi ekspor mebel dan keraÂjinan kayu dalam negeri.
Jika ekspor ngedrop akan menimbulkan kerugian dan bertambahnya defisit neraca perÂdagangan dan jumlah pengangÂguran,†terangnya.
Abdul menilai, persyaratan memÂperoleh SVLK terlalu lama dan memerlukan syarat-syarat penÂdukung mulai dari perizinan prinÂsip hingga pengelolaan lingÂkungan yang semuanya membutuhkan biaya anggaran cukup besar.
Apalagi jumlah verifikasi seÂkarang hanya sekitar 14 peruÂsahaan. Padahal dengan jumlah perusahaan yang banyak, peruÂsahaan verifikasi minimal 20-30 perusahaan. ***