"Kalau bicara etika pemerintahan, jika dipenghujung periode Presiden meratifikasi rasanya Presiden kurang beretika," ujar ahli hukum tata negara, Refly Harun melalui pernyataannya, Kamis (16/10).
Ia menilai keputusan ini hanya akan membebani pemerintahan berikutnya. Terlebih FCTC merupakan salah satu produk kebijakan strategis. Di samping itu juga masih terdapat pro kontra atas rencana ratifikasi FCTC.
"Ini bakal menjadi beban bagi pemerintah selanjutnya, beban itu dinilai dari tingkat kontroversinya," ujar Refly.
Refly menegaskan, kebijakan tembakau ini menyangkut kepentingan rakyat banyak, karena itu prosesnya tidak mudah. Presiden sebaiknya mengajak DPR untuk duduk bersama membahas rencana ini, bukan meratifikasi secara sepihak. Maka, tambah Refly, sangat tidak baik tidak bisa ditetapkan dalam kurun waktu kurang dari 10 hari sisa pemerintahan.
"Jadi harus persetujuan DPR, bukan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres)," tegasnya.
Sebelumnya, senada dengan Refly, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan, jika Presiden SBY memutuskan mengaksesi FCTC bisa diartikan sebagai tindakan abai pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya. Dia menambahkan, bertani tembakau sudah menjadi tradisi turun temurun sebagian masyarakat Indonesia dalam mencapai kesejahteraan. Dukungan Pemerintah terhadap kelangsungan pertanian tembakau adalah bagian dari perwujudan kesejahteraan tersebut.
[wid]
BERITA TERKAIT: