Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Hikmahanto Juwana mengatakan, salah satu klausul perjanjian dalam BIT yang merugikan Indonesia adalah mengenai pajak berganda. Hingga saat ini, pelaku usaha Indonesia masih belum mendapatkan manfaat dari perjanjian pajak berganda.
“Pemerintah harus segera mengakhiri perjanjian pajak berganda. Apalagi para pelaku usaha Indonesia masih berkonsentrasi penuh untuk mengeksploitasi pasar dalam negeri,†tegas Hikmahanto di Jakarta, kemarin.
Tidak hanya meminta menghentikan BIT, Hikmahanto juga menegaskan agar Pemerintah Indonesia segera keluar dari forum
Arbitrase International Center for Settlement Dispute (ICSID). Sebab, Indonesia berpotensi diperkarakan ke ICSID dan membayar ganti rugi puluhan miliar dolar ke investor asing.
“Bagaimana tidak, ketika Pemerintah Indonesia tidak kooperatif terhadap investor asing, mereka langsung memperkarakan ke ICSID atau menggunakan
Convention on the Settlement of Investment Dispute between State and National of Other State dan meminta ganti rugi dengan angka yang fantastik,†bebernya.
Sebaliknya, lanjut Hikmahanto, pelaku usaha Indonesia hampir tidak pernah terdengar kabarnya menyeret pemerintah setempat ke forum yang sama lantaran dirugikan atau tidak menjalankan BIT.
Karena itu, dia menyarankan lebih baik pemerintah keluar dari ICSID dan menghentikan BIT yang merugikan. Pasalnya, kondisi Indonesia sudah berubah. Tanpa BIT, asing akan tetap melirik Indonesia karena negara ini memiliki pasar dan sumber daya alam yang sangat baik.
Direktur Perjanjian Ekonomi Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani mengatakan, keluar dari ICSID bukanlah solusi yang tepat.
Pasalnya, pemerintah tetap dapat digugat meskipun keluar dari ICSID. Hal ini terlihat dari Pasal 25 ayat 1 Konvensi ICSID. ***