Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan, kebijakan plain packaging diadopsi tanpa bukti ilmiah atau analisis.
“Jika kita mengabaikannya, ini bisa menjadi preseden bagi negara manapun untuk mengadopsi kebijakan ketat tanpa dasar ilmiah. Kebijakan subjektif seperti ini nantinya dapat menjadi dasar untuk diterapkan di produk lain, selain produk tembakau,†kata Iman saat diskusi peran pemerintah untuk melindungi dan meningkatkan komoditas agrikultur unggulan dalam negeri di Jakarta, kemarin.
Kendati begitu, dia mengaku ekspor rokok tahunan Indonesia ke Australia tidak cukup besar. Peraturan tersebut dapat diikuti negara-negara lain sehingga akan membahayakan perdagangan internasional produk tembakau Indonesia.
Untuk diketahui, Indonesia adalah negara produsen rokok kretek terbesar di dunia dan secara peringkat menempati posisi dua terbesar di dunia setelah Uni Eropa, sebagai negara produsen pengekspor produk tembakau manufaktur.
Iman mengatakan, penerapan aturan kemasan polos akan memaksa industri rokok lokal untuk menyesuaikan harga. Hal ini memiliki dampak negatif terutama pada produsen rokok kecil dan menengah yang mungkin tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya.
Terlebih lagi, mempertimbangkan efek dominonya terhadap jutaan petani tembakau dan cengkeh yang tersebar di seluruh Indonesia. “Efektivitas kemasan polos tidak terbukti. Dengan kemasan yang sama, produsen rokok hanya akan bersaing dari segi harga,†tuturnya.
Menurut Iman, aturan itu juga akan merangsang munculnya produk-produk palsu dan rokok ilegal yang diperdagangkan.
Terkait dengan usulan bekas Menteri Perdagangan Gita Wirjawan supaya Indonesia melakukan kebijakan yang sama, Iman menegaskan, pihaknya tetap akan berusaha di WTO.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengatakan, industri rokok menyumbang Rp 150 triliun untuk pendapatan negara.
“Sektor ini sangat membantu pendapatan negara dan banyak menyerap tenaga kerja,†ujarnya.
Dia mengatakan, hingga kini pemerintah masih kesulitan mencari sektor lain menggantikan industri rokok dalam hal pendapatan negara dan jumlah tenaga kerja. Namun, yang sekarang bisa dilakukan adalah bagaimana mengurangi tekanan industri rokok ini.
Menurut data yang diterima dari Kemenperin, kinerja ekspor tembakau dan rokok pada 2009 menyentuh angka 52.515 ton dan pada 2012 mengalami penurunan 15.405 ton, menjadi 37.110 ton.
Sementara, kapasitas produksi rokok nasional hingga akhir tahun mencapai 308 miliar batang, meningkat 6 miliar batang dibanding realisasi tahun lalu sebanyak 302 miliar batang. ***