"Saya tidak sependapat jika Raskin dihapus. Kalau program Raskin dihapus, maka akan menghapus juga program-program pemerintah yang lain," kata pengamat pangan Prof. Mohammad Husein Sawit kepada wartawan di Jakarta, Senin (28/4).
Menurutnya, menghentikan program Raskin bukanlah solusi. Seharusnya yang dilakukan adalah memperbaiki program tersebut. Pasalnya, program Raskin terkait dengan sejumlah kebijakan lain seperti kebijakan pengadaan pangan dalam negeri.
"Tujuan Raskin tahap awal tidak dirancang untuk menstabilkan harga beras, tapi mekanisme stabilitasasi harga beras itu dengan cadangan beras pemerintah. Namun, sekarang cadangan beras pemerintah sedikit sekali dan kualitasnya sama dengan Raskin. Karena itu, Raskin digunakan sebagai alat untuk menstabilkan harga," jelas Husein.
Dia menambahkan, suatu program yang terlalu banyak volumenya sulit untuk dikontrol, sehingga perlu ditata sedemikian rupa. Harus dirasionalkan jumlahnya sekitar 2 juta ton. Saat ini jumlah Raskin sendiri sudah melebihi dari 3 juta ton hingga akhir tahun 2013, sehingga dianggap terlalu besar. Semakin besar volume Raskin semakin besar pula dalam menyerap beras produksi dalam negeri.
"Pengadaan itu banyak bergantung pada produksi. Kalau musimnya jelek tentunya tak bisa mendapat gabah yang banyak karena tidak mencukupi. Kalau tidak mencukupi beras harus diimpor, agar tidak terlalu banyak impor beras maka manajemen Raskin perlu diperbaiki, harus dirasionalkan jumlahnya, bukan diberangus," beber Husein.
Jika Raskin dihapus, tambahnya, berarti pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan beras dan tidak ada lagi pembelian gabah dari petani. Hal ini memaksa petani menjualnya ke pihak swasta.
"Pihak swasta biasanya tak membeli banyak dan harga akan jatuh di bawah ongkos produksi, sehingga petani akan rugi. Akibatnya, di panen berikutnya petani akan mengurangi luas area, tidak mau menggunakan pupuk lagi dan produksi gabah akan merosot," tegas Husein.
[wid]
BERITA TERKAIT: