Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, tata kelola dalam industri pertambangan masih bermasalah. Lembaga yang dikomandoi Abraham Samad itu menemukan 10 permasalahan yang saat ini menghambat industri pertambangan.
“Hasil kajian KPK, di sektor tamÂÂbang ada sedikitnya 10 perÂsoalan terkait pengelolaan perÂtambangan yang diamanatkan unÂdang-undang tapi belum selesai hingga saat ini,†kata Juru Bicara KPK Johan Budi, kemarin.
Adapun 10 persoalan tersebut, yakÂÂni renegosiasi kontrak (34 KonÂÂÂtrak Karya/KK dan 78 PerÂjanjian Karya Pengusaha PerÂtamÂbangan Batubara/PKP2B), peÂningkatan niÂlai tambah dalam benÂtuk pengoÂlahÂan dan pemurÂnian hasil tambang mineral dan batuÂbara, penataan Kuasa PerÂtamÂbaÂngan/Izin Usaha PerÂtamÂbangan (IUP) serta peÂningÂkatan kewajiban pemenuÂhan kebuÂtuhan dalam neÂgeri (Domestic MarÂket Obligation).
Selanjutnya, pelaksanaan keÂwaÂjiban pelaporan secara reguler, peÂlaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca tambang, penerbitan atuÂran pelaksana Undang-UnÂdang (UU) No.4 tahun 2009 tenÂtang PertamÂbangan Mineral dan BatuÂbara (MiÂnerba), pengemÂbaÂngan sistem data dan informasi, pelakÂsanaan peÂngawasan dan pengÂoptimalan peÂnerimaan negara.
Karena itu, KPK melakukan upaya pencegahan terjadinya tinÂdak pidana korupsi dengan melaÂkukan kegiatan koordinasi dan suÂpervisi (korsup) atas peÂngelolaan pertambangan minerÂba di 12 proÂvinsi. Ini dimakÂsudÂkan untuk meÂngawal perÂbaikÂan sistem dan keÂbijakan pengeÂlolaan PeneriÂmaan Negara BuÂkan Pajak (PNBP) Minerba.
Johan memaparkan, dari rekaÂpitulasi data per 3 Februari 2014, Direktorat Jenderal MineÂral dan Batubara (Ditjen MinerÂba) KeÂmenÂterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada 10.918 IUP di seluÂruh IndoÂnesia.
Sebanyak 6.041 telah berÂstaÂtus clean & clear (CNC) dan 4.877 siÂsanya berÂstatus non-CNC. SeÂdangÂkan pada 12 provinsi itu terÂdapat 7.501 IUP dengan 4.365 berÂstatus CNC dan 3.136 non CNC.
“Ditjen Minerba juga menÂcaÂtat, piutang negara sejak 2005 hingga 2013 sebesar Rp 1,308 triÂliun, terdiri dari iuran tetap Rp 31 miliar atau 2,3 persen dan roÂyalti sebesar Rp 1,277 triliun atau 97,6 persen,†ungkap Johan.
Sedangkan jumlah piutang pada 12 provinsi yang dilakukan korsup sebesar Rp 905 miliar atau 69 persen dari total piutang, terdiri dari iuran tetap Rp 23 miÂliar dan royalti Rp 882 miliar. Piutang ini berasal dari 1.659 peÂrusahaan dari total 7.501 IUP yang ada di 12 provinsi.
“Tak hanya soal status CNC, perÂÂsoalan lain adalah masih baÂnyaknya perusahaan pemegang IUP yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). MeÂnurut daÂta Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 perusahaan pemegang IUP dan 3.202 di antaranya beÂlum teridentifikasi NPWP-nya,†jelas Johan.
Menko PerekoÂnoÂmian Hatta RaÂjasa meminta PeÂmerintah DaeÂrah (Pemda) berÂsikap selektif dan tidak semÂbarangan memberikan IUP kepaÂda investor asing. ImÂbauan itu didasari pada kenyataan rawannya pencurian sumber daya alam oleh asing.
Menurut Hatta, banyak investor asing yang bertindak curang kaÂrena mendapat berbagai kemuÂdahan. “Jika semua investor diÂberi kemudahan, kekayaan neÂgaÂra bisa dirampas dan tidak biÂsa diambil kembali,†cetusnya.
Hatta membeberkan sejumlah modus yang lazim digunakan peruÂsahaan asing demi mendapat IUP. Biasanya, investor asing awalnya menunjukkan keseÂriusan mengÂhormati dan menuruti aturan yang berlaku di Indonesia. Tapi, jika izin sudah dikantongi dan kegiatan perÂtamÂbangan sudah berjalan tanpa pangawasan, muncul kecuÂrangan.
Menurut politisi PAN itu, inÂvestor asing tidak segan-segan menggunakan cara licik. Karena itu, pemerintah mengingatkan investor asing untuk mematuhi aturan yang ada termasuk ketenÂtuan dalam UU Minerba mauÂpun aturan turunannya.
Salah satu yang ditekankan Hatta adalah KK dan PKP2B anÂtara perusahaan pertambangan dengan pemerintah. Dia menilai, jika Pemda bisa bertindak pintar dalam memilih investor pertamÂbaÂngan, itu akan sangat berpeÂngaruh bagi kemaÂjuan ekonomi daerah penghasil tamÂbang.
“Kita mendorong invesÂtor maÂsuk Indonesia, tapi ada aturan yang harus ditaati,†tegasnya. ***