Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, maraknya pembangunan dan eksploitasi kekayaan di darat sangat memperhatinkan, pemerintah berkomitmen memberdayakan segala upaya dalam mengolah kekayaan laut sebagai penopang ekonomi negara.
“Di tahun 2030, Indonesia diprediksi akan menjadi negara ketujuh terbesar di dunia jika bisa memberdayakan sektor perikanan dan kelautan. Pemerintah akan terus berupaya mewujudkan itu,†kata Cicip di Pati, Jawa Tengah.
Komitmen itu merupakan angin segar bagi para nelayan dan pemerintah dituntut konsisten. Sebab, banyak pemburu ikan di tanah air yang kehidupannya masih jauh dari sejahtera.
Seperti yang dialami Sukarmin, nelayan asal Pati, Jawa Tengah. Untuk melaut, pria berusia 39 tahun yang biasa menjaring ikan hingga ke kawasan Kalimantan ini, membutuhkan modal mencapai ratusan juta rupiah setiap bulannya yang dihimpun lewat utang.
Sukarmin mengaku, untuk sekali melaut harus mengeluarkan biaya Rp 130-200 juta, buat beli enam ton solar dan perbekalan 17 ABK. Dengan kapasitas muatan kapal 50 ton, paling dia mendapat hasil kotor Rp 300 juta. Setelah dipotong modal dan lain-lain, sisanya baru bisa dibagi ramai-ramai.
Nelayan lainnya, Edi Sumanto, mengeluhkan sulitnya mencari solar karena terbatasnya jumlah SPBN/SPDN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan/Stasiun Pengisian Diesel Nelayan).
Tak jarang lelaki berusia 31 tahun ini sering menggunakan jasa calo. Ia pun harus merogoh koceknya lebih dalam untuk membayar jasa ilegal itu.
“Secara pribadi kami butuh semacam asuransi. Tahun 2013 saja sudah ada tiga kapal nelayan asal desa Juwana yang hancur diterjang cuaca buruk,†ungkapnya. ***