“Kalau soal rokok itu sudah salah. Australia sudah tidak bisa lagi menerapkan itu, sudah kalah dituntut oleh perusahaan rokok Amerika,†ujar Menteri PerdaÂgangan (Mendag) Muhammad Lutfi di Jakarta, kemarin.
Menurut Lutfi, jika Australia ngotot memberlakukan hal itu, bisa diadukan kembali ke WTO. “Ya boleh aja, tapi kalau sudah kalah kan nggak bisa diulang lagi, isÂtilahnya final,†tegas Lutfi.
Hal yang sama juga berlaku untuk produk makanan asal IndoÂnesia. “Pokoknya pada dasarnya kita nggak setuju barang kita dituÂduh macam-macam. Kita mesti liÂhat kejadian seperti itu tidak mengÂuntungkan semua orang,†tutur Lutfi.
Untuk diketahui, Australia berÂusaha membatasi penjualan roÂkok dan produk tembakau di neÂgaÂranya dengan menerbitkan aturÂan
The Tobacco Plain PackaÂging Act pada 2011. Belakangan Selandia Baru pun mengikuti.
Kondisi itu membuat IndoneÂsia, Ukraina, Honduras, Republik DoÂminika dan Kuba mengaÂjukan keberatan ke WTO. NeÂgara-neÂgara penggugat berÂarguÂmen bahwa aturÂan itu melanggar perÂaturan perdagangan internasional dan hak cipta atas merek.
Anggota Komisi VI DPR HenÂdrawan Supratikno mengatakan, jika praktik tersebut merugikan, Indonesia wajar memprotes. SoalÂnya dalam teori ekonomi khuÂÂsusnya
marketing strateÂgy, konsumen butuh informasi akan produk yang akan dibeli.
Kemasan polos, kata HendraÂwan, hanya siasat Australia untuk menumbuhkan produk lokal lewat cara yang tidak adil.
“Orang akan membanding-banÂdingkan dulu sebelum membeli rokok. Kalau itu tanpa merek, tanÂpa bungkus, artinya Australia berharap ada pabrik lokal yang bisa tumbuh,†ungkapnya.
Sebelumnya, bekas Mendag Gita WirjaÂwan mengusulkan, seÂbagai tinÂÂdakan balasan terhadap kebiÂjakan AusÂtralia itu, negara-neÂgara proÂduÂsen tembakau termaÂsuk IndoÂneÂsia, harus memberlaÂkukan aturan keÂmasan polos pada proÂduk minuman beralkohol jenis wine asal Negeri Kanguru. ***