“Hubungan industrial yang kondusif antara pengusaha dan pekerja/buruh menjadi kunci utama untuk menghindari terjadinya PHK (pemutusan hubungan kerja), meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh serta memperluas kesempatan kerja baru untuk menanggulangi pengangguran di Indonesia,†kata Muhaimin.
Menurutnya, kondisi hubungan industrial di Indonesia pada 2013 ditandai dengan meningkatnya ekskalasi unjuk rasa yang dilakukan serikat pekerja yang salah satunya disebabkan terhambatnya komunikasi, dialog dan sarana untuk menampung aspirasi/keluhan parapekerja/buruh di tingkat perusahaan.
“Terjadinya ketidakcocokan dan perselisihan antara pengusaha dan buruh adalah dinamika dalam hubungan kerja. Sudah waktunya kedua belah pihak duduk bersama, tidak lagi saling menyalahkan. Kedua belah pihak harus menghormati karena merupakan mitra kerja yang harus saling mendukung untuk kepentingan bersama,†jelas Imin.
Saat ini jumlah petugas mediator hubungan industrial di Indonesia masih sangat minim. Menurut data Kemenakertrans, tercatat 829 orang mediator hubungan industrial untuk menangani 225.852 perusahaan dengan jumlah pekerja sebanyak 16.202.824 pekerja. Padahal idealnya, dibutuhkan minimal 2.353 mediator hubungan industrial. Hal tersebut disebabkan karena masalah ketenagakerjaan menjadi urusan wajib daerah sesuai peraturan otonomi daerah.
Anggota Komisi IX DPR Okky Asokawati mengatakan, langkah memperkuat kelembagaan hubungan industrial yang dilakukan Menakertrans itu sudah pernah dilakukan komisinya kepada beberapa perusahaan.
“Perselisihan antara perusahaan dan pekerja/buruh tidak perlu lagi dibawa ke DPR, jika masing-masing perusahaan sudah memiliki mediator yang cukup,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka.***