Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Bachrul Chairi mengatakan, persiapan mengimpor sapi indukan dalam jumlah besar akan memakan waktu cukup lama, sehingga sebagian perusahaan baru dapat merealisasikannya pada semester II tahun ini.
“Itu harus ada persiapan. Ini manajemen dari penggemukan dan manajemen untuk pembibitan kan berbeda tentunya. Mereka harus siapkan kandangnya, makanannya lebih banyak. Itu kan harus ada,†jelasnya.
Bachrul mengatakan, beberapa dari pelaku usaha telah siap dengan infrastruktur yang dibutuhkan. Mereka hanya perlu menambah kapasitas. Namun, masih banyak perusahaan yang butuh waktu pembenahan yang panjang.
Dia menjelaskan, pemerintah tengah mengupayakan pemberian insentif bagi importir yang mendatangkan sapi indukan. Apabila, insentif tersebut telah siap, Kemendag mengharapkan sapi betina produktif yang dapat diimpor menembus satu juta ekor, sehingga populasi sapi dalam negeri dapat pulih kembali.
Untuk dapat mencapai pembahasan soal insentif tersebut, kata dia, manajemen perusahaan penggemukan dan pembibitan harus memiliki satu pendekatan yang sama.
Bachrul menegaskan, pemerintah mewajibkan para importir membeli minimal 25 persen dari jumlah impor sapi bakalan yang diajukan atau yang disepakati oleh Kemendag. Untuk memenuhi kebutuhan 25 persen sapi indukan itu, total jumlah impor sapi indukan diperkirakan mencapai 185.000 ekor.
Kepala Eksekutif Asosiasi Eksportir Ternak Australia Ben Hindle mengatakan, hingga saat ini Indonesia masih mengambil semua jenis ternak sapi, tapi kebanyakan yang memiliki berat badan ringan.
“Karena kondisi di sebagian besar wilyah Queensland yang kering, fokus mereka kini adalah soal berat badan,†ujar Hindle kepada
radioaustralia.net.au. Mengenai rencana Indonesia untuk menegakkan aturan 25 persen sapi indukan, dia mengatakan hal tersebut belum jadi kenyataan. “Aturan ini belum terpenuhi dalam jangka pendek dan juga bukan sebuah peraturan yang sudah sah secara mengikat,†katanya. ***