“Tanpa infrastruktur gas, tidak mungkin ekspor bisa dikurangi,†kata pengamat energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, kemarin.
Untuk diketahui, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kebijakan Energi Nasional mengamanatkan kepada pemerintah untuk menghentikan ekspor gas alam secara bertahap.
Menurut Komaidi, sebenarnya potensi penyerapan gas domestik bisa lebih besar dari saat ini. “Hanya karena infrastrukturnya tidak ada, sehingga produksi tidak terserap,†ujarnya.
Pemanfaatan gas domestik rata-rata naik 9 persen sejak 2003. Pada 2013, alokasi gas domestik sudah lebih besar dari ekspor, yakni 52,15 persen atau 3.660
Billion British Thermal Unit per Day (BBTUD).
Menurut dia, kalau infrastruktur seperti terminal LNG sudah terbangun, dalam jangka pendek bisa dilakukan impor gas sepanjang harganya lebih murah dibanding ekspor. Dengan demikian, harga ekspor yang tinggi dari impor bisa mengoptimalkan penerimaan negara. Untuk jangka panjang, penghentian ekspor gas merupakan langkah strategis terkait ketahanan energi.
“Prinsipnya, jika dapat dilakukan secara pararel justru lebih baik. Idealnya memang potensi domestik dioptimalkan dulu, baru dilakukan impor,†jelasnya.
Di sisi lain, dengan impor, cadangan gas bisa sebagai stok, mengingat komoditas energi harganya cenderung naik akibat ketersediaan semakin berkurang. Selain infrastruktur, pemerintah bisa melakukan terobosan berupa pemberian insentif fiskal untuk mengatasi keekonomian lapangan gas.
Menurut dia, jika harga energi terlalu murah, tidak menjamin keberlanjutan pasokan.
Hal senada dikemukakan anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto. Ia mengatakan, komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan gas domestik harus diiringi dengan ketersediaan infrastruktur dan keekonomian pengembangan lapangan gas. Menurut dia, pemerintah mesti menyediakan infrastruktur gas seiring habisnya kontrak ekspor gas.
Kontrak ekspor, menurut Dito, tidak bisa langsung dialihkan ke dalam negeri karena berjangka panjang. Sifat gas yang tidak bisa disimpan seperti minyak, membutuhkan kontrak jangka panjang agar memberikan kepastian bagi produsen dan pembeli.
Selain insentif fiskal dan non fiskal, kata Dito, pemerintah mesti menerapkan open access pada pipa transmisi dan distribusi, sehingga harga gas ke konsumen kompetitif dan keekonomian lapangan tetap terjaga. ***