Namun, kata Sofjan, susah dipahami masih ada pihak-pihak yang tetap mempermasalahkan terlaksananya eksekusi denda berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) tersebut. “Kenapa orang sudah mau bayar terus diributkan sementara yang tidak bayar pajak dibiarkan saja. Mau jadi apa republik ini kalau terus begitu,†cetusnya di Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, pembayaran itu sudah terjadi kepastian hukum dan terutama adanya kepatuhan hukum dari AAG. “Uang Rp 2,5 triliun itu merupakan jumlah yang besar,†ujarnya menambahkan AAG sudah semestinya mempertimbangkan keberlangsungan operasional bisnisnya di 14 perusahaan terkait yang melibatkan 25.000 karyawan dan 29.000 petani plasma.
Sementara itu, pihak AAG mempertimbangkan untuk menggunakan utang guna membayar denda pajak tersebut. “Angka (Rp 2,5 triliun) itu besar. Tentu kami mempelajari semua sumber dana yang ada, termasuk opsi terakhir, pinjaman pihak luar,†terang General Manager PT Asian Agri Freddy Wijaya.
Sementara Direktur Utama PT Inti Indosawit Subur Supriadi mengatakan, “Kami punya 25 ribu karyawan dan 29 ribu petani plasma. Kami akan berdaya upaya.â€
Jaksa Agung Basrief Arief menyebutkan, mekanisme pembayaran eksekusi denda ini sebagai kerja sama yang baik antara Kejagung dan AAG, dan khususnya antara Kejagung dan Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian BUMN, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Pelaksanaan eksekusi denda ini didasarkan putusan kasasi MA No 2239.K/Pid.Sus/2012 tanggal 18 Desember 2012 atas nama terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak. Batas pembayaran selama satu tahun yang harus dibayarkan oleh 14 perusahaan atau sebelum 1 Februari 2014. Seluruh perusahaan tersebut tergabung dalam AAG.
Sebelumnya, Peneliti ICW Firdaus Ilyas mengkritik cara pembayaran denda pajak AAG dengan cara mengutang. Karena, kebijakan tersebut berpotensi ditiru para pengemplang pajak lainnya.
Sementara pengacara AAG Yusril Ihza Mahendra berjanji akan mengawal perkara yang masih dalam proses persidangan di Pengadilan Pajak. Dia menyebutkan, Asian Agri telah membayar cicilan pertama sebesar Rp 719 miliar dari denda perkara pajak sebesar Rp 2,5 triliun. “Saya telah memberikan nasehat kepada PT AAG agar mematuhi keputusan MA membayar denda. Ini untuk menghormati pengadilan tertinggi di negara kita dan Kejaksaan Agung sebagai eksekutor,†kata dia.
Dia melihat ada keganjilan perhitungan pajak yang menghasilkan denda senilai Rp 1,25 triliun. Seharusnya yang kompetan menghitung pajak ialah pengadilan pajak, bukan MA. “Tapi kami tidak ingin berdebat, kita jalani putusan hukum, dan kami akan tetap melakukan upaya hukum,†pungkasnya. ***