“Industri gula saat ini masih banyak masalah, bagaimana mau menghadapi produk-produk impor. Seperti gula rafinasi yang rembes, impor raw sugar untuk perbatasan tapi tidak sampai ke perbatasan dan masalah harga patokan petani gula yang masih rendah,†ungkap Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Natsir Mansyur.
Ekonom Didik J Rachbini menyatakan, Indonesia selalu gagal menghadapi perdagangan bebas. “Kita ini banyak menghadapi kebijakan ekonomi global seperti komunitas ekonomi ASEAN. Ini ibarat ujian naik kelas tapi (kita) celaka terus karena tidak dipersiapkan,†kata Didik.
Didik juga menuding perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan China menjadi biang kerok dari defisit perdagangan Indonesia. Hal itu terjadi lantaran basis produksi di dalam negeri tidak dipersiapkan dengan baik.
Menurutnya, perdagangan internasional ibarat pula bermain kartu. Jika lawan membuka satu kartu, Indonesia juga cukup membuka satu kartu. “Jangan sana buka satu, kita buka lima. Sekarang begitu juga, dari negara di ASEAN yang paling diuntungkan itu Singapura,†tuding Didik.
Menurut dia, Singapura dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit, namun unggul dalam jasa akan mendapat banyak keuntungan dari AEC. Sementara Indonesia, negara dengan penduduk terbesar ke-4 dunia merupakan pasar yang menarik diperebutkan di kawasan ASEAN.
“Singapura pasarnya kecil, kita pasarnya besar. Itu satu kenaifan yang tidak pernah kita pikirkan. Yang sangat kita perlukan adalah diplomasi yang kuat dalam investasi dan perdagangan,†pungkasnya.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, Indonesia harus menjadi basis produksi pangan di kawasan ASEAN pada 2015.
“Tidak ada kata lain, harus siap karena itu akan terjadi. Oleh sebab itu, Indonesia harus menjadi basis produksi pangan bukan pasar negara lain,†katanya.
Ketua Asosiasi Hortikultura dan Kedelai Indonesia Benny Kusbini mengungkapkan, tidak hanya industri gula yang belum siap menghadapi pasar bebas ASEAN, secara keseluruhan sektor pangan Indonesia belum siap.
Menurut Benny, untuk urusan kedaulatan pangan Indonesia masih sangat labil dan tergantung impor dari negara tetangga. “Kita harus hati-hati. Kalau melihat kondisi sekarang, kita hanya menjadi penonton,†ucapnya.
Ia mencontohkan Kamboja yang disebutnya seperti Indonesia di era 1965 bisa menjadi negara eksportir beras. Ini kebalikan dari Indonesia yang sepanjang 2011 lalu mengimpor 3 juta ton beras.
Selain beras, Benny juga menunjukkan angka importasi berbagai komoditas pangan seperti jagung (2,8 juta ton), kedelai 1,8 juta ton, sapi (480 ribu ekor), susu (3,8 juta liter), beras ketan (150 ribu ton) dan beras broke (200 ribu ton). ***