Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri menceritakan langkah konversi di Peru yang sama sekali tidak ada insentif dari pemerintahnya. Program ini dimotori oleh perbankan melalui pembiayaan
converter.
“Muncul sebuah program di Peru yang menarik. Bikin konversi yang kemudian converter-nya itu dibiayai oleh bank. Kemudian dibagikan gratis,†ungkapnya kepada wartawan di kantornya, kemarin.
Tadinya, kata Chatib, pemberian secara gratis dipandang merugikan perbankan. Namun, ternyata bank mengambil keuntungan dari hasil penjualan gas dengan biaya potongan tertentu.
Jika itu dipraktikkan di Indonesia, dia yakin, perbankan bisa bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Terutama dalam pemberian hasil penjualan gas.
“Jadi bukan orang yang bayar, tapi orang membayar dari pembelian gasnya di pompa bensin. Itu yang dilakukan di Peru, jadi kita bisa desain itu,†terangnya.
Sementara kalau diberikan insentif untuk pembelian converter akan memerlukan penambahan pengawasan. Harus ada anggaran tambahan dari APBN.
“Kalau insentif dilakukan tanpa pemerintah mengeluarkan uang dan si private sektornya happy kenapa mesti keluarin uang. Karena soal insentif ini mesti dikontrol lagi dengan pemerintah,†ujarnya.
Hal senada diungkapkan Presiden Direktur PT Autogas Indonesia Thomas Nurhakim. Ia mengatakan, pemerintah seharusnya menggandeng perbankan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga bagi masyarakat yang mau beralih ke BBG.
Menurut dia, kalau ingin sukses dan berhasil dalam program percepatan konversi BBM ke BBG, pemerintah harus gencar mensosialisasikan kepada masyarakat.
Thomas menjelaskan, perbandingannya menggunakan BBG lebih murah dengan biaya sebesar Rp 3.100, bila dibanding premium yang sebesar Rp 6.500. “Kalaupun rencana Pertamina untuk menaikkan harga gas menjadi Rp 4.100, itu tetap lebih murah,†bebernya
.
Dilaporkan Ke KPPUPT Perusahaan Gas Negara (PGN) dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena diduga melakukan monopoli bisnis gas.
Lembaga Integral Demokrasi Indonesia (LIDI) secara resmi mengajukan laporan dugaan monopoli dalam industri distribusi dan transmisi pipa gas yang dilakukan perusahaan itu.
Dalam laporan itu, PGN disinyalir telah melakukan pelanggaran atas pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai Persaingan Usaha. Pasalnya, dalam usahanya melakukan distribusi dan transportasi gas, PGN melakukan penguasaan atas pemasaran gas pada pipa yang dibangunnya. Hal itu bertentangan dengan pasal 9 dan 19 Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No.19/2009. PGN juga tidak mau memisahkan kegiatan usaha pengangkutan gas (transporter) dan niaga (trader).
“Kami sangat prihatin dengan masalah pendistribusian gas yang terjadi di Indonesia. Banyak sekali bisnis yang usahanya tergantung pada harga gas yang murah dan kompetitif jadi gulung tikar,†jelas Sekjen LIDI Ino Jumadi.
Menurut Ino, jika dikaitkan dengan pasal mengenai posisi dominan, PGN menggunakan posisi itu baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan, dengan tujuan mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing.
“Banyak pihak yang dirugikan dengan praktik monopoli dan penyalahgunaan posisi dominan PGN. Mereka (yang dirugikan) selama ini enggan bersuara karena takut tidak kebagian jatah gas,†ujar Ino. ***