“Ada risiko penyimpangan pengelolaan keuangan dari peningkatan belanja sosial, hibah dan belanja modal dari instansi pemerintah di pusat dan daerah menjelang pelaksanaan Pemilu. Itu akan menurunkan akuntabilitas keuangan negara,†kata anggota BPK Agung Firman Sampurna di Forum Komunikasi Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan BPK di Jakarta, kemarin.
Oleh karena itu, Agung mengungkapkan, BPK akan fokus melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) jelang pemilu tahun depan. Salah satu yang akan jadi fokus pemeriksaan adalah terkait penganggaran dan pertanggungjawaban dana bantuan sosial (bansos) dan hibah.
Ia mengungkapkan, tujuan fokus pemeriksaan itu untuk meminimalisasi penyimpangan anggaran dan mendukung upaya penindakan korupsi. Adapun tahun buku yang diperiksa sepanjang 2011-2012 hingga semester satu 2013.
Agung menjelaskan, BPK akan mengutamakan PDTT pada daerah yang memiliki volume bansos yang tinggi dan komposisi bansos terhadap APBD-nya besar.
Selain terhadap bansos dan hibah, BPK juga akan melakukan PDTT pada belanja modal yang berisiko melanggar aturan perundangan-undangan dan PDTT di Bank Pembangunan Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) lainnya. “BPK akan meminta kantor akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan BUMD,†tuturnya.
BPK juga akan memeriksa APBD pada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Untuk itu, pihaknya akan membentuk wilayah pemantau tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri mengatakan, sejak 2004 dana bansos telah diselewengkan oleh elite di daerah. Namun, kondisi sekarang merupakan yang paling parah.
Dia meyakini sebagian besar dana bansos diselewengkan, khususnya saat menjelang pilkada. “Saya kira sudah cukup lama, paling tidak mulai hampir 2004 sudah ada dana bansos. Namun saat itu tidak terlalu masif seperti sekarang,†kata Bisri.
Bisri menuturkan, tidak hanya eksekutif, tetapi legislatif juga menikmati dana bansos. Bahkan, keduanya cenderung berkolaborasi menjarah dana bansos. Hal ini merupakan salah satu akar permasalahan yang hingga kini belum tuntas, yakni tidak jalannya fungsi kontrol dari DPRD.
“Pada praktiknya, bansos itu disalurkan kepada lembaga yang sengaja dibentuk untuk menerima bansos. Biasanya jika incumbent maju, maka DPRD ikut nimbrung minta jatah, alasannya untuk konstituennya,†jelasnya.
Modus yang dilakukan untuk menjarah dana bansos cukup beragam. Namun, biasanya dilakukan kepala daerah dengan membentuk lembaga abal-abal atau fiktif sebagi penampung dana bansos. Lembaga tersebut biasanya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dikelola orang-orang titipan dari eksekutif, dan legislatif di daerah.
“Jadi, lembaga itu tidak pernah ada, dan lembaga itu ada tetapi lembaga itu isinya notabene orang-orang yang sengaja ditugasi kepala daerah seolah-olah menjalankan lembaga itu. Kemudian, lembaga itu fiktif,†beber Bisri.
Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Ucok Sky Khadafi menambahkan, tidak adanya transparansi dan akuntabilitas yang dilakukan pemerintah, khususnya pemda, menjadikan dana bansos sebagai sasaran empuk untuk diselewengkan.
“Karena masyarakat tidak tahu, akuntabilitas atau transparansi pemerintah daerah tidak ada, bansos ini menjadi sasaran empuk,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]