Kritik tersebut dicetuskan dalam konteks sistem perpajakan Indonesia. Di tanah air hukum pajak tidak pro dunia usaha. Sebabnya, meski hukum pajak dibuat sebagai hukum administratif, tapi sanksi yang ditekankan selalu pidana. “Ketentuan pidana hanya preventif harusnya, bukan represif. Jadi bagaimana WP (wajib pajak) dicegah tidak melanggar (hukum) pajak. Makanya ada denda minimum, maksimum, kemudian kurungan,†ungkapnya seraya melanjutkan, WP bisa kena hukum administratif, fiskus (pegawai pajak) yang bisa dikenakan hukum pidana.
Bukannya berlaku seperti itu, hukum pajak justru membuat diskresi besar pada penyidik Direktorat Jenderal Pajak terhadap laporan pajak yang sebetulnya bersifat self assessed atau berdasarkan penilaian sendiri.
Romli juga menilai penggunaan kata ‘penyidik PNS’ untuk pegawai pajak yang memeriksa laporan pajak tidak tepat. Alasannya, dalam ketentuan hukum penyidik berarti WP otomatis menjadi calon tersangka. Penyidik pun, kata Romli, banyak yang tidak mengerti hukum karena berpendidikan dasar akuntansi.
Pihaknya juga mengomentari keputusan mengenai kurang bayar pajak maupun perkara korupsi yang sekarang banyak disorot. Menurutnya, dalam hukum pajak, seharusnya ada pembuktian bahwa laporan pajak yang dibuat tidak benar. Kemudian, baru dikenakan sanksi jika terjadi pelanggaran.
Berburu Di Kebun BinatangPada kesempatan yang sama, Ketua Apindo Sofjan Wanandi menilai, DJP disebut seperti berburu di kebun bintang. Pasalnya, karena DJP dibebani target penerimaan pajak terlalu besar setiap tahun. Tahun depan pun target disebut terlalu tinggi. “DJP berkutat dengan intensifikasi penerimaan dari WP yang sama, bukan dari WP yang baru. Itu yang kita sebut berburu di kebun binatang,†kritik Sofjan.
Menurutnya, dunia usaha di Indonesia tengah menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kemampuan pengusaha beradaptasi dengan sistem hukum perpajakan yang masih belum jelas. Sayangnya, sistem hukum perpajakan masih rumit, lemah, dan menimbulkan beragam penafsiran.
Senada dengan Sofjan, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik Haryadi B. Sukamdani mengatakan, Dirjen Pajak (DJP) takut akan persepsi bila ada kasus dengan Wajib Pajak (WP) dan berakhir dengan posisi kebenaran di pihak WP sehingga DJP dipersepsikan “ada main†dengan WP.
Ia juga meminta pemerintah harus menaati aturan dan prosedur dalam pengenaan pajak, tidak boleh sewenang-wenang. “Pengusaha sekarang ini takut kalah dalam sengketa pajak,†kata Haryadi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kismantoro Petrus menanggapi tentang perlunya membangun kembali trust (kepercayaan) antara fiscus dan wajib pajak. “Trust ini harus terus dibangun dari kedua belah pihak,†timpalnya. [Harian Rakyat Merdeka]