Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor migas Juni tercatat sebesar 3,53 miliar dolar AS atau naik 2,72 persen dibanding Mei 2013 sebesar 3,43 miliar dolar AS.
Sedangkan sepanjang semester I-2013, kenaikan impor migas sebesar 3,11 persen menjadi 22,11 miliar dolar AS dari sebelumnya 21,44 miliar dolar AS pada 2012.
Impor minyak pada periode enam bulan pertama ini mencapai 6,89 miliar dolar AS atau naik 24,75 persen dari tahun lalu sebesar 5,53 miliar dolar AS. Sementara minyak mentah juga terkerek naik 9,71 persen dari 1,02 miliar dolar AS menjadi 1,12 miliar dolar AS di Juni ini.
“Konsumsi masyarakat terhadap BBM masih tinggi. Jadi meski harga BBM naik belum bisa menurunkan konsumsi tersebut,†ujar Kepala BPS Suryamin di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, peningkatan konsumsi BBM setiap tahun tidak diimbangi dengan kenaikan produksi minyak di Indonesia mengingat banyak sumur eksplorasi minyak yang sudah tua. Hingga kini, pemerintah juga belum bisa menemukan sumur-sumur baru untuk menggenjot produksi minyak dalam negeri.
Senior Vice President Fuel Marketing & Distribution PT Pertamina (Persero) Suhartoko mengatakan, lebih menguntungkan mengimpor BBM daripada memproduksi bensin sendiri di kilangnya.
“Pertamina lebih untung impor daripada produksi BBM di kilang sendiri. Harga produksi BBM di kilang sendiri itu 107 persen dibandingkan harga BBM impor atau 107 persen x MOPS (
Mean of Platt’s Singapore),†terang Suhartoko.
Menurut Suhartoko, kerugian memproduksi di kilang sendiri terjadi karena banyak kilang BBM Pertamina yang berusia tua. Termasuk kilang Balongan yang terakhir kita bangun pada tahun 80-an.
Butuh Tiga Kilang BaruKepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan, Indonesia harus membangun minimal tiga kilang minyak baru untuk memperkuat ketahanan energi nasional.
Menurut Bambang, proyek kilang minyak mentah yang rencananya akan mulai dibangun tahun depan harus menggunakan uang rakyat dan investasi swasta.
“Kalau melihat kebutuhannya, Indonesia perlu dua sampai tiga kilang minyak ke depan. Lokasinya bisa di mana saja yang penting kawasan Indonesia,†kata Bambang.
Kilang minyak tersebut, lanjutnya, akan dimiliki negara dan pihak swasta. “Jadi nantinya ada dua pabrik yang berbeda, dan dua kilang berbeda (pemerintah dan swasta). Bukan satu kilang untuk dua pemilik,†ujarnya.
Setiap kilang, kata Bambang, mempunyai kapasitas pengolahan minyak mentah sebesar 300 ribu barel per hari (bph). Sehingga, pemerintah maupun swasta harus menggelontokan dana masing-masing untuk pembangunan kilang.
“Kalau kilang minyak buatan pemerintah, investasi harus semuanya dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tapi kalau milik swasta, dananya juga dari mereka,†jelas Bambang.
Dia menegaskan, kebutuhan investasi untuk menggarap satu kilang minyak mentah sekitar 10 miliar dolar AS-15 miliar dolar AS. “Seingat saya tidak sampai segitu besar,†ucap dia.
Untuk diketahui, dua perusahaan berbasis di Timur Tengah, yakni Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum sempat ngebet membangun proyek kilang minyak di dalam negeri. Namun, mereka masih menunggu kesepakatan insentif dari pemerintah Indonesia.
Kedua perusahaan tersebut mengajukan permintaan fasilitas insentif tax holiday selama 18 tahun. Pasalnya, mereka berencana menanamkan modalnya sekitar 9 miliar dolar AS-10 miliar dolar AS.
“Mereka kan boleh ikut tender, nanti kami akan bandingkan insentif yang mereka minta dengan orang lain. Apakah insentif dia yang paling menguntungkan buat Indonesia atau tidak,†jelas Bambang.
Sekadar informasi, PT Pertamina (Persero) kini tercatat hanya memiliki enam unit kilang minyak yang memiliki kapasitas 1,05 juta barel per hari (bph). Kilang-kilang tersebut sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Padahal, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini berdiri sejak 10 Desember 1957.
Keenam kilang milik Pertamina yaitu Kilang Dumai, Kilang Plaju, Kilang Balikpapan, Kilang Cilacap, Kilang Balongan dan Kilang Sorong. Produksi minyak di enam kilang tersebut, hanya 700 ribu-800 ribu bph. Indonesia saat ini butuh kilang baru yang lebih besar. [Harian Rakyat Merdeka]