BP Migas Tuding Pertamina Pernah Tekor Rp 4,3 Triliun

Akibat Salah Kelola Perusahaan Pada Tahun Era 1980-an

Sabtu, 31 Maret 2012, 08:09 WIB
BP Migas Tuding Pertamina Pernah Tekor Rp 4,3 Triliun
ilustrasi, Pertamina
RMOL.Badan Pengelola Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) meng­klaim penurunan produksi terjadi sejak 1996. DPR minta cost reco­very tetap dipertahankan di level 25 persen dan produksi minyak dan gas (migas) bisa digenjot lagi.

BP Migas menegaskan, pro­duk­si migas Indonesia sudah turun sejak 1996, bukan sejak era pe­me­­rintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan, di kala itu belum ada ide untuk mengubah fungsi PT Pertamina (Persero).

“Penurunan produksi sudah terjadi sejak 1996. Waktu itu be­lum ada ide sama sekali tentang fungsi Pertamina yang diubah,” ujarnya dalam acara Economic Challenges di Jakarta, kemarin.

Dia mengaku mendengar kabar adanya tudingan BP Migas saat ini dikelola kurang baik. Padahal, badan ini tidak pernah merugikan negara. Dia menjelaskan, BP Mi­gas merupakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan se­buah produk reformasi bangsa yang tidak mencari keuntungan.

Priyono menyebut, ketika Per­ta­­mina yang masih mengurus hulu migas pada era 1980-an, perusa­haan pelat merah ini ber­potensi merugi­kan negara hingga 7 miliar dolar AS sekitar 1980-an. Dengan asumsi angka dolar tahun 1980 sebesar Rp 626 per dolar AS. Ma­ka, kerugian ne­gara tersebut men­capai Rp 4,3 triliun. Angka itu melebihi utang negara kala itu sebesar 2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1,2 triliun.

“Kami tidak punya aset, beda dengan dulu badan se­be­lum re­formasi yang asetnya sam­pai sulit dibeda­kan. Jangan sampai semua produk reformasi di­niliai semua­nya bu­ruk,” ujarnya.

Dikatakan, penurunan pro­duk­si migas dulu 13,6 persen. Sejak ada BP Migas, penurunan pro­duk­si migas bisa ditekan dua per­sen. “Ini adalah kinerja ins­tansi hasil reformasi,” tegas Priyono.

Sayangnya, kata be­k­as Dir­jen Migas ini, pu­blik mengait­kan nilai cost re­covery atau biaya pro­dusen mi­nyak yang diganti pe­merintah yang terus naik tapi produksi migas terus turun.

Priyono mengatakan, rasio cost re­covery selalu dikontrol oleh BP Migas 22-25 persen terhadap gross revenue (penerimaan kotor) migas. “Ada jaminan industri mi­gas dikelola secara baik dan efi­sien,” terangnya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemen­terian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro memaparkan, pajak penghasilan (PPh) migas dipatok sebesar Rp 67,91 triliun, peneri­maan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam se­perti minyak Rp 150,84 triliun, PNBP gas Rp 47,46 triliun dan PNBP lainnya yang meru­pakan ba­gian dari do­mestik market obligation (DMO) sebe­sar Rp 11,79 triliun.

Saat ini, total penerimaan mi­gas ini naik Rp 12,08 triliun dari RAPBN-P 2012 yang diaju­kan pemerintah Rp 265,94 triliun. Di sisi lain, target penerimaan migas sebesar Rp 278,02 triliun cen­derung stagnan jika diban­dingkan dengan realisasi 2011 yang men­capai Rp 278,27 triliun.

Asumsi cost re­covery sebesar 15,1 miliar dolar AS diketok Badan Anggaran (Banggar) DPR dengan catatan peme­rintah harus melakukan efi­siensi biaya pro­duksi, renegosiasi harga gas, dan menjaga realisasi proyek eks­plo­rasi lumbung migas baru.

Ketika dikonfirmasi ke Vice  President Corporate Pertamina M Harun, pihaknya enggan ber­­komentar soal tud­ingan Kepala BP Migas tersebut. Menurutnya, tidak objektif jika mengomentari kinerja perusahaannya sendiri. “Lebih baik tanya ke pengamat saja,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA