BP Migas menegaskan, proÂdukÂsi migas Indonesia sudah turun sejak 1996, bukan sejak era peÂmeÂÂrintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan, di kala itu belum ada ide untuk mengubah fungsi PT Pertamina (Persero).
“Penurunan produksi sudah terjadi sejak 1996. Waktu itu beÂlum ada ide sama sekali tentang fungsi Pertamina yang diubah,†ujarnya dalam acara Economic Challenges di Jakarta, kemarin.
Dia mengaku mendengar kabar adanya tudingan BP Migas saat ini dikelola kurang baik. Padahal, badan ini tidak pernah merugikan negara. Dia menjelaskan, BP MiÂgas merupakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan seÂbuah produk reformasi bangsa yang tidak mencari keuntungan.
Priyono menyebut, ketika PerÂtaÂÂmina yang masih mengurus hulu migas pada era 1980-an, perusaÂhaan pelat merah ini berÂpotensi merugiÂkan negara hingga 7 miliar dolar AS sekitar 1980-an. Dengan asumsi angka dolar tahun 1980 sebesar Rp 626 per dolar AS. MaÂka, kerugian neÂgara tersebut menÂcapai Rp 4,3 triliun. Angka itu melebihi utang negara kala itu sebesar 2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1,2 triliun.
“Kami tidak punya aset, beda dengan dulu badan seÂbeÂlum reÂformasi yang asetnya samÂpai sulit dibedaÂkan. Jangan sampai semua produk reformasi diÂniliai semuaÂnya buÂruk,†ujarnya.
Dikatakan, penurunan proÂdukÂsi migas dulu 13,6 persen. Sejak ada BP Migas, penurunan proÂdukÂsi migas bisa ditekan dua perÂsen. “Ini adalah kinerja insÂtansi hasil reformasi,†tegas Priyono.
Sayangnya, kata beÂkÂas DirÂjen Migas ini, puÂblik mengaitÂkan nilai cost reÂcovery atau biaya proÂdusen miÂnyak yang diganti peÂmerintah yang terus naik tapi produksi migas terus turun.
Priyono mengatakan, rasio cost reÂcovery selalu dikontrol oleh BP Migas 22-25 persen terhadap gross revenue (penerimaan kotor) migas. “Ada jaminan industri miÂgas dikelola secara baik dan efiÂsien,†terangnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal KemenÂterian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro memaparkan, pajak penghasilan (PPh) migas dipatok sebesar Rp 67,91 triliun, peneriÂmaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam seÂperti minyak Rp 150,84 triliun, PNBP gas Rp 47,46 triliun dan PNBP lainnya yang meruÂpakan baÂgian dari doÂmestik market obligation (DMO) sebeÂsar Rp 11,79 triliun.
Saat ini, total penerimaan miÂgas ini naik Rp 12,08 triliun dari RAPBN-P 2012 yang diajuÂkan pemerintah Rp 265,94 triliun. Di sisi lain, target penerimaan migas sebesar Rp 278,02 triliun cenÂderung stagnan jika dibanÂdingkan dengan realisasi 2011 yang menÂcapai Rp 278,27 triliun.
Asumsi cost reÂcovery sebesar 15,1 miliar dolar AS diketok Badan Anggaran (Banggar) DPR dengan catatan pemeÂrintah harus melakukan efiÂsiensi biaya proÂduksi, renegosiasi harga gas, dan menjaga realisasi proyek eksÂploÂrasi lumbung migas baru.
Ketika dikonfirmasi ke Vice President Corporate Pertamina M Harun, pihaknya enggan berÂÂkomentar soal tudÂingan Kepala BP Migas tersebut. Menurutnya, tidak objektif jika mengomentari kinerja perusahaannya sendiri. “Lebih baik tanya ke pengamat saja,†katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: