RMOL. Para pengusaha tambang niÂkel Indonesia menegaskan tidak ada kepentingan asing di balik penoÂlakan terhadap percepatan peÂlarangan ekspor bahan menÂtah tambang mineral.
Untuk diketahui, Menteri EnerÂgi Sumber Daya Mineral (ESÂDM) Jero Wacik pada 6 FeÂbruari 2012 mengeluarkan PeraÂturan Menteri (Permen) ESDM No.7 taÂhun 2012 soal PeningÂkatan Nilai Tambah Melalui KeÂgiatan PengoÂlahan dan PemuÂrnian Mineral.
Peraturan itu mewajibkan peÂngusaha tambang mineral meÂlakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri sebelum dieksÂpor, maksimal Mei 2012. NaÂmun, perÂaturan itu banyak ditoÂlak penguÂsaha tambang.
Ketua Asosiasi Nikel IndoneÂsia Shelby Ihsan Saleh mengataÂkan, dasar penolakan terhadap Permen ESDM tersebut karena belum tersedianya infrastruktur untuk pembangunan pabrik peÂleburan nikel di dalam negeri.
Bahkan, sebagian besar tamÂbang nikel yang berada di wiÂlayah Indonesia Timur belum mendapat suplai listrik dengan kapasitas besar. “Bagaimana mungkin, kita bangun pabrik kaÂlau tidak ada suplai listrik,†ujar Shelby, kemarin.
Menurutnya, pasokan energi untuk pabrik tidak bisa dibangun dalam waktu cepat sehingga peÂlaksanaan pembangunan pabrik tidak bisa dipenuhi dalam waktu yang sangat singkat. “Bedakan, antara tidak mau dan tidak bisa. Kita bukan Bandung BondowoÂso yang bisa bangun candi dalam hitungan hari,†tegasnya.
Shelby mengatakan, untuk memÂbangun smelter berkapasitas dua juta ton bijih mineral per bulan saja membutuhkan dana seÂkitar 100 juta dolar AS, belum termasuk fasilitas pembangkit listrik. Kebutuhan listrik tetap tergantung masing-masing rekaÂyasa desain bangunan smelter peruÂsahaan tambang, di antaraÂnya, ada yang butuh 9 Mega Watt (MW), 13 MW, dan 16 MW.
Wakil Ketua Umum Kadin BiÂdang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Kamar Dagang dan InÂdustri (Kadin) Natsir Mansyur meÂngatakan, berdasarkan UnÂdang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan BatuÂbara (Minerba) larangan ekspor tersebut baru berlaku pada 2014.
Dia menilai, Permen ESDM No.7 tahun 2012 merupakan keÂbiÂÂjakan pemerintah yang sama sekali tidak dibicarakan dengan dunia usaha, sehingga menimÂbulÂkan penolakan dari berbagai peÂnguÂsaha dan Kadin di daerah. MeÂÂnurutnya, para pengusaha suÂdah mengajukan judicial review terhadap peraturan tersebut. [Harian Rakyat Merdeka]
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.