Pengusaha Tambang Ngeluh Belum Ada Infrastruktur Listrik

Tolak Permen ESDM Nomor 7/2012

Jumat, 30 Maret 2012, 08:37 WIB
Pengusaha Tambang Ngeluh Belum Ada Infrastruktur Listrik
ilustrasi, area tambang

RMOL. Para pengusaha tambang ni­kel Indonesia menegaskan tidak ada kepentingan asing di balik peno­lakan terhadap percepatan pe­larangan ekspor bahan men­tah tambang mineral.

Untuk diketahui, Menteri Ener­gi Sumber Daya Mineral (ES­DM) Jero Wacik pada 6 Fe­bruari 2012 mengeluarkan Pera­turan Menteri (Permen) ESDM No.7 ta­hun 2012 soal Pening­katan Nilai Tambah Melalui Ke­giatan Pengo­lahan dan Pemu­rnian Mineral.

Peraturan itu mewajibkan pe­ngusaha tambang mineral me­lakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri sebelum dieks­por, maksimal Mei 2012. Na­mun, per­aturan itu banyak dito­lak pengu­saha tambang.

Ketua Asosiasi Nikel Indone­sia Shelby Ihsan Saleh mengata­kan, dasar penolakan terhadap Permen ESDM tersebut karena belum tersedianya infrastruktur untuk pembangunan pabrik pe­leburan nikel di dalam negeri.

Bahkan, sebagian besar tam­bang nikel yang berada di wi­layah Indonesia Timur belum mendapat suplai listrik dengan kapasitas besar. “Bagaimana mungkin, kita bangun pabrik ka­lau tidak ada suplai listrik,” ujar Shelby, kemarin.

Menurutnya, pasokan energi untuk pabrik tidak bisa dibangun dalam waktu cepat sehingga pe­laksanaan pembangunan pabrik tidak bisa dipenuhi dalam waktu yang sangat singkat. “Bedakan, antara tidak mau dan tidak bisa. Kita bukan Bandung Bondowo­so yang bisa bangun candi dalam hitungan hari,” tegasnya.

Shelby mengatakan, untuk mem­bangun smelter berkapasitas dua juta ton bijih mineral per bulan saja membutuhkan dana se­kitar 100 juta dolar AS, belum termasuk fasilitas pembangkit listrik. Kebutuhan listrik tetap tergantung masing-masing reka­yasa desain bangunan smelter peru­sahaan tambang, di antara­nya, ada yang butuh 9 Mega Watt (MW), 13 MW, dan 16 MW.

Wakil Ketua Umum Kadin Bi­dang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Kamar Dagang dan In­dustri (Kadin) Natsir Mansyur me­ngatakan, berdasarkan Un­dang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu­bara (Minerba) larangan ekspor tersebut baru berlaku pada 2014.

Dia menilai, Permen ESDM No.7 tahun 2012 merupakan ke­bi­­jakan pemerintah yang sama sekali tidak dibicarakan dengan dunia usaha, sehingga menim­bul­kan penolakan dari berbagai pe­ngu­saha dan Kadin di daerah. Me­­nurutnya, para pengusaha su­dah mengajukan judicial review terhadap peraturan tersebut.  [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA