Kenaikan Harga BBM Subsidi Tak Selesaikan Masalah Tuh

Masih Banyak Potensi Untuk Peningkatan Penerimaan Negara

Rabu, 28 Maret 2012, 09:10 WIB
Kenaikan Harga BBM Subsidi Tak Selesaikan Masalah Tuh
ilustrasi

RMOL. Pemerintah dinilai hanya mencari cara mudah mengantisipasi defisit anggaran akibat kenaikan harga minyak dunia dengan menaikkan harga BBM subsidi. Padahal, pemerintah masih bisa menggenjot penerimaan dari sektor pajak dan non pajak.

Direktur Pusat Studi Ke­bijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria mengatakan, menaikkan harga BBM memang dapat me­ngatasi defisit Anggaran Pen­da­patan dan Belanja Negara (APBN). Tapi, kebijakan tersebut ti­dak me­­nyelesaikan masalah anggar­an untuk jangka panjang.

“Kenaikan harga BBM tak me­nyelesaikan masalah. Walau ICP (Indonesia Crude Price) 105 dolar AS barel dalam rancangan APBN Pe­rubahan, tidak berarti mem­buat pemerintah aman dari pro­blem subsidi. Tidak ada yang bisa jamin harga minyak turun,” kata­ Sofyano kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Karena itu, seharusnya tim eko­nomi SBY fokus menggali sumber penerimaan negara, baik dari pajak maupun non pajak. Ini artinya, perlu dilakukan optima­lisasi terhadap hal tersebut.

Menurut Sofyano, banyak po­tensi untuk peningkatan pe­ne­ri­maan negara, misalnya me­naik­kan cukai rokok 100 persen diya­kini dapat menambah kas APBN sekitar Rp 73 triliun per tahun.

Selain itu, di sektor Peneri­ma­an Negara Bukan Pajak (PNBP), menetapkan kontrak bagi hasil ba­gi batubara sangat mampu mem­­berikan sumbangan bagi pe­ne­rimaan negara. Sebab, se­lama ini tambang batubara tidak di­per­la­kukan sistem bagi hasil atau pro­duction sharing con­tract (PSC) seperti pertamba­ngan mi­nyak dan gas, di mana untuk mi­nyak pe­merintah me­miliki hak 85 persen dan untuk gas 80 persen.

Penerimaan negara di sektor PNBP batubara hanya dalam ben­tuk royalti sebesar 16,5 per­sen, sehingga memberikan kon­tribusi kepada negara sekitar Rp 65,5 triliun per tahun.

“Jika batubara diberlakukan pola kontrak bagi hasil, negara di­­mungkinkan mendapat tamba­han pemasukan sekitar 100 per­sen dari saat ini,” jelas Sofyano.

Hal yang sama juga harus dila­kukan untuk tambang mineral. Saat ini, penerimaan negara di sek­tor mineral pemerintah hanya menerima Rp 11,9 triliun.

“Jika pemerintah mampu mene­gosiasi ulang harga ekspor gas lapangan Tangguh, Papua ke Chi­na maupun besaran royalti pada tam­bang emas Freeport, Papua, pu­­luhan triliun rupiah dapat di­peroleh untuk menambah angga­ran pem­bangunan,” urainya.

Pengamat ekonomi Iman Su­gema mengatakan, sebenarnya pe­merintah bisa menutup ke­ku­ra­ngan anggaran subsidi BBM de­ngan menekan anggaran cost re­covery. Menurut dia, seha­rus­nya dengan diturunkannya target pro­duksi minyak dari 950 ribu ba­rel per hari menjadi 930 ribu ba­rel biaya cost recovery ikut turun.

Kenaikan cost recovery ini, ka­ta Iman, menjadi tidak relevan ka­­rena dengan menaikkan cost recovery 15 persen di APBN-P 2012, pemerintah memboroskan anggaran 1,25 miliar dolar AS atau Rp 11,24 triliun.

“Angka Rp 11,24 triliun ini jika ditambah dengan dana Bantuan Lang­sung Tunai Sementara (BLSM) sebesar Rp 25,6 triliun dan subsidi angkutan umum se­besar Rp 4,3 triliun, maka didapat Rp 41,64 triliun. Ini kan bisa me­nambal kekurangan subsidi BBM sebesar Rp 41,2 triliun,” katanya.

Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldy mengatakan, ke­naikan harga BBM masih belum pu­tus dan akan dilakukan di rapat pa­ripurna sesuai keputusan Ba­dan Anggaran (Banggar) DPR. Yang disetujui di Banggar adalah besaran subsidinya.

Selain itu, kata Bobby, saat ini yang masih menjadi sorotan ada­lah soal pemberian BLSM karena belum disepakati meka­nisme pe­nyalurannya. Ditam­bah, penyu­su­nan daftar pene­rimanya rawan disusupi ke­pentingan politis.

“Apalagi penyaluran dikordinir Tim Nasional Percepatan Pe­nang­­gulangan Kemiskinan (TNP2K) yang dipimpin Wakil Presiden, sehingga sulit diawasi karena tidak bermitra dengan DPR,” ujar Bobby.

Menteri Keuangan Agus Mar­to­wardojo menegaskan akan te­tap memperjuangkan kenaikan harga BBM sampai sidang pari­purna. Menurut dia, pemerintah tetap memilih opsi pertama, yaitu menetapkan subsidi BBM Rp 137 triliun dan subsidi listrik Rp 64,9 triliun dan dengan cadangan ri­siko fiskal Rp 26,6 triliun.

“Opsi ini memungkinkan tam­bahan kompensasi sebesar Rp 30,6 triliun. Sebab, pada opsi per­tama pemerintah diperbo­lehkan menaikkan harga BBM Rp 1.500 per liter,” tandas Agus. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA